Pekat Malam, Rawa-rawa, dan Sepeda

Oleh Iqbal Perdana
Staf Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Siapa sangka, hidup sebuah keluarga di tengah belantara. Pinggiran kota. Siapa sangka, keluarga itu mendiami sebuah rumah yang harus melalui semak dan rawa untuk mengunjunginya. Pula siapa sangka, hidup tiga orang anak yang diasuh oleh seorang ibu, perempuan buta, dan tanpa ayah. Siapa sangka. Ini bukan cerita fiksi. Sungguh, yang demikian itu benar-benar nyata.
***
Hari ini saya, Iqbal Perdana, Pak Tabrani Yunis, dan Muhajir kembali mengukur jalan memanggul belasan sepeda. Ukurannya sedang dan besar. Kalau yang besar sudah dilengkapi alat ganti gigi. Kalau melalui jalan yang menanjak bisa diopor gigi rendah, jadi dayungan akan lebih nyaman. Betis tidak akan gembung. Pula jika sedang di medan jalan datar, bisa diopor gigi tinggi. Agar dayungan padu, kecepatan stabil.
Hari ini niat kami adalah mengantar amanah, membahagiakan sebelas orang anak. Anak-anak ini spesial. Cobaan yang diberikan Allah kepada mereka lebih berat daripada cobaan yang diberikan kepadaku. Di usia mereka yang masih sangat belia, mereka sudah dicoba untuk bisa mandiri. Mengerjakan apapun sendiri, setiap hari. Sampai nanti akhirnya mereka bertemu lagi di alam yang berbeda bersama orang-orang yang mereka sayangi.
Diantaranya ada yang sudah tidak memiliki ibu atau ayah, atau keduanya. Pula ada diantaranya yang tinggal di gubuk, dengan atap bocor dan dinding berlubang. Pun yang juga mengaduk-aduk perasaan saya, jarak mereka menuntut ilmu sangat jauh, berkilo-kilo meter. Setiap pagi mereka berjalan kaki, kalau sedang beruntung, mereka bisa menumpang orang-orang yang berlalu-lalang pada jalan yang mereka susuri.
Tepat pukul sembilan, setelah kami merapikan sepeda di punggung mobil, Tabrani menginjak gas. Aku sudah siap dengan daftar nama anak-anak yang nantinya menerima bantuan sepeda ini. Bantuan kecil yang bisa meringankan beban mereka menuju sekolah. Ada perempuan, pula ada laki-laki. Usianya ragam, ada yang masih duduk di bangku sekolah dasar, pula ada yang sudah duduk di bangku sekolah menengah atas.
Kami berbincang ringan di dalam mobil. Soal kandidat calon gubernur yang foto dan balihonya berserakan sampai ke belantara Selawah. Juga bicara soal seorang dara 25 tahun yang mampu mengelabui beberapa orang berduit untuk berinvestasi dengannya, padahal bodong. 
Di ujung perjalanan, Pidie, sudah ada Ismail yang menunggu. Kami tiba sekitar pukul 12. Hujan menyergap. Ismail yang pergi bersama Imam sudah kepalang basah. Buru-buru ia masuk mobil. “Alhamdulillah kita diberi oleh Allah kenikmatan, mobil, jadi lebih aman dan mudah menyalurkan tangan,” ujar Tabrani. “Betul, Pak. Sudah diberi kemudahan, kita harus bisa membantu sesama” sambung Ismail dalam mobil.
Selepas kenalan singkat, sebab saya dan Muhajir baru pertama kali bertemu mereka, perjalanan kami lanjutkan kembali. Anak pertama yang kami tuju berdiam di Desa Adang Brabo,Padang Tiji, Pidie. Jarak dari rumahnya ke sekolah lebih dari dua kilometer. Selama ini, ia hanya mengandalkan betis menuju sekolahnya. Jalan dari sekolah menuju rumahnya juga tidak mulus, sebagian tidak beraspal. Kalau pun beraspal, sudah setengah rusak. Sebagian aspalnya sudah pecah dan ada yang retak. Bahkan kami melewati jalan yang di kiri kanan penuh semak belukar dan hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja. Jalan itu, tampaknya hamper todak pernah dilaluai mobil.
Gambaran pemukiman yang seperti ini tidak jauh berbeda dengan penerima-penerima bantuan sepeda lainnya. Ketika tiba, Tabrani menyalami mereka. Tabrani memberikan nasihat, motivasi untuk merubah kehidupan. “Mau kaya? Kalau mau kaya, sekolah. Kerja keras. Nanti kalau sudah kaya bisa membantu orang lain yang membutuhkan seperti bapak,” Tabrani menjelaskan.
Mereka tersenyum, di antaranya ada yang tersipu malu. Pula ada yang matanya berkaca-kaca. Seorang ibu mengucapkan Alhamdulillah di tengah kerumunan masyarakat yang menyaksikan penyerahan bantuan ini. Rasa lelah yang semestinya kami alami justru hilang dihapus senyum bahagia anak-anak ini. Senyum bahagia mereka benar-benar tulus. Mata mereka menyala-nyala ketika mengetahui bahwa mereka tidak perlu jalan kaki lagi ke sekolah.
Dengan hati-hati, Muhajir menurunkan sepeda-sepeda itu dari atas mobil. Agar tak lecet. Ia sematkan kertas karton di antara besi-besi sepeda itu. Sepeda yang disalurkan adalah sepeda-sepeda terbaik. Akan tahan sampai beberapa tahun ke depan. Tabrani paham betul bahwa kualitas sepeda juga harus diperhatikan, tidak boleh asal. Sebab apa jadinya jika sepeda-sepeda itu hanya bertahan 5-10 bulan saja. Oleh karena itu, uang hasil kiriman para dermawan dari seluruh Indonesia pun dari luar negeri dibelanjakan khusus untuk sepeda, sepeda yang terbaik.
Kini, langit Pidie telah gelap. Jam sudah menunjukkan pukul 8. Masih ada satu orang lagi. Tabrani memacu mobil pelan. Medan yang dilalui oleh mobil Ford Ranger, empat WD itu melewati gang-gang kecil gampong. Akhirnya kami sampai di tengah rawa yang beberapa tempat tertancap pohon-pohon rumbia. Nah rumah yang kami tuju ini paling ekstrim dari mengakses rumah sebelumnya.
Di hadapan kami ada parit besar, barangkali tiga meter. Dua buah balok kayu menjadi jembatan ala kadar penghubung jalan gang dan jalan setapak menuju rumah terakhir penerima bantuan sepeda. Imam memangku sepeda di pundaknya. Sebuah jalan setapak, dengan rawa di kiri dan kanannya, kami telusuri. Saya dan beberapa orang lain menyalakan lampu dari ponsel. Karena tidak ada penerangan apa pun di situ. Kami merinding, ketika mengira di semak-semak itu barangkali ada hewan berbahaya seperti ular dan lainnya.
Dengan hati-hati kami berjalan. Dipandu anak perempuan kecil. Ia baru duduk di kelas tiga sekolah dasar. “Alhadulillah Ya Allah, Ya Allah, malam-malam diantar” suara dari kejauhan, ibunya anak itu.
Ibu itu buta, badannya kurus. Ia bersandar di kursi kayu. Di sampingnya, seorang gadis, yang pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi di Sigli, harus putus akibat diserang penyakit. Gadis itu juga kini sulit melihat, penglihatannya kabur. Namun syukur, Ismail dan Imam melalui program Pidie Mengajar telah melakukan pengobatan pertama bagi gadis itu. “Habis obat nanti kita rongent di Banda Aceh,” ujar Ismail.
Haru muncul di dada saya. Melihat kondisi mereka begini, sungguh mengiris hati. Padahal ini kali pertama kami bertemu.
Setelah beberapa menit menyerahkan sepeda, setelah Ismail berulang kali meyakinkan dirinya bahwa matanya masih bisa diselamatkan. Kami pun mundur, pulang. Anak perempuan kecil tadi senyum-senyum. Begitu pula kakaknya. Lalu ibunya, sambal menangis dan mendoakan kami dan para dermawan disebalamtakan Allah serta selalu dimudahkan rezeki. Kami pun beranjak pulang, melewati jalan semak-semak di tengah kegelapan malam itu. Hati pun lega, saatnya kami kembali ke kota Banda Aceh.
Exit mobile version