ilustrasi /islamlib.com |
Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education
Setiap kali kami duduk di bangku depan toko Balitaku Galery di samping kantor POTRET, di jalan Prof. Ali Hasyimi, Banda Aceh, selalu saja mata tertuju pada orang-orang yang lalu lalang. Diskusi-diskusi kecil yang penuh prihatin pun terjadi. Tentu sangat banyak orang dan kenderaan yang melintas. Namun, pandangan mata sering tertuju pada pasangan remaja yang berkenderaan.
Bukan hanya karena cara-cara mereka menggunakan jalan raya yang kurang tertarur, ugal-ugalan, melawan arus saja, tetapi juga karena gaya pacaran remaja kita yang semakin terasa aneh dan asing di mata sebagian orang Aceh sendiri. Dikatakan aneh dan asing, karena model pacaran yang diperagakan dan diperlihatkan oleh remaja kita saat ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Para remaja semakin bersikap terbuka dan bebas dalam tata pergaulan. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan gaya pacaran terbuka di depan umum. Tidak perlu malu dan harus bersembunyi kalau ingin memegang atau memeluk sang pacar. Akses lelaki terhadap tubuh peremuan semakin mudah saat berboncengan. Pacar yang lelaki tidak perlu meminta sang cewek untuk duduk rapat, karena sang cewek sendiri sudah duduk dengan sangat rapat hingga angin saja tidak bisa lewat dinatara kedua tubuh yang berboncengan. Padahal, secara pakaian sang gadis berjilbab rapi, menutupi aurat, tetapi perilakunya sangat bertolak belakang. Itulah realitas remaja di Aceh saat ini. Tidak percaya? Silakan saja diamati fenomena ini. Selain pemandangan di jalan raya, kita bisa amati di tempat-tempat lainnya, seperti di café-café, warung kopi, pantai dan tempat-tempat hiburan. Pasti akan menemukan pemandangan serupa.
Nah, bila kita amati pelakunya dari segi usia, mereka kebanyakan adalah remaja yang masih usia SMA dan kalangan mahasiswa. Celaka bukan? Memang sangat celaka. Pacaran terbuka kini berkembang hingga pada remaja yang masih dalam usia dini hingga usia SMP dan mungkin pula masih di bangku SD. Bayangkanlah remaja yang masih dini usia, bisa naik berboncengan bagai suami isteri.
Melihat kenyataan di Aceh, budaya pacaran terbuka memang semakin membudaya dan menebarkan virus pergaulan bebas di kalangan generasi muda sejak dini. Budaya ini akan membuat gaya pergaulan bebas di antara remaja berkembang dengan pesat. Karena budaya pacaran terbuka, telah membuka kemudahan akses remaja laki-laki terhadap tubuh perempuan dengan tidak bertanggung jawab. Bukan hanya mudah, akan tetapi semakin murah dan tidak berharganya tubuh perempuan. Dikatakan demikian, karena dari amatan dalam aksi pacaran terbuka tersebut, sang perawan terlihat semakin agresif dan tanpa malu-malu memeluk erat lelaki yang memboncengnya dengan penuh mesra. Sedihnya, harta yang dahulu sangat berharga bagi kaum perempuan (baca keperawanan), terasa semakin murah. Sang perawan atas nama cinta yang belum pasti, mau menyerahkannya kepada sang pacar.
Disadari atau tidak, pacaran terbuka, juga akan mendorong merebaknya kejahatan seksual, baik pelecehan seksual, kekerasan seksual dan bahkan berujung pada tindakan pembunuhan karena seks. Kejahatan seksual tersebut tidak hanya dialami oleh kaum perempuan, tetapi juga ikut diderita oleh anak-anak yang masih di bawah umur. Dalam beberapa data yan dilansir oleh pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia menunjukan bahwa angka kejahatan seksual, terutama terhadap anak dan perempuan cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Diprediksi angka kekerasan seksual terhadap anak tahun 2014 mencapai 3.000 kasus, dengan asumsi KPAI menerima aduan dari masyarakat 24 kasus per hari dari berbagai daerah. Bahkan jumlah tersebut diprediksi akan terus bertambah (RRI.co.id, 11/06/14)
Komnas PA memaparkan bahwa pada 2010, menerima laporan kekerasan anak sebanyak 2.046 kasus yang 46 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Tahun 2011 kekerasan anak meningkat menjadi 2.462 kasus, dan tahun 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus. Pada 2013 angka pelaporan melonjak jadi 3.339 kasus, sekitar 58 persen di antaranya merupakan kejahatan seksual. Bila dirata-rata, laporan kekerasan pada anak dari 2010 hingga 2014 didominasi kejahatan seksual pada anak, yakni sekitar 42-62 persen.
Dalam konteks Aceh, Balai Syura Inong Aceh, sepanjang 2011-2012, mencatat ada 66 kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 2-18 tahun di Aceh. Juga tercatat terjadi sebanyak 994 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh. Total kasus keduanya adalah 1.060 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 561 kasus telah diverifikasi dan diketahui bahwa 73,6% di antaranya adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Sisanya 26,3% merupakan kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat.
Selain munculnya kasus kejahatan seksual, praktek pacaran terbuka akan mendorong tumbuh dan berkembangnya praktek – praktek prostitusi di kalangan remaja dan juga orang dewasa yang memanfaatkan keadaan ini dimana saja. Caranya bisa lewat prostitusi terselubung dan terbuka. Untuk kejahatan seksual dalam bentuk prostitusi, di Aceh selama ini memang disinyalir berjalan secara terselubung. Sehingga sulit didapatkan data yang akurat dan valid. Namun mengacu pada hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) memberikan sedikit gambaran situasinya. Hasil survey PKBI tersebut mengungkapkan bahwa dari 40 siswa yang disurvei, ditemukan bahwa 90 persen di antaranya pernah mengakses film dan foto porno. Sebanyak 40 persen lainnya mengaku pernah menyentuh organ intim pasangannya. Fakta lebih mengagetkan, sebanyak lima dari 40 siswa mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah bersama pacar.
Selain hasil survey tersebut di atas, kita juga akan tercengang melihat peningkatan kasus aborsi di tanah air. Menurut BkkbN, praktik aborsi di dalam negeri cenderung meningkat tiap tahun, rata-rata mencapai 15 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja. Beberapa wilayah lain di Indonesia, seks pranikah juga dilakukan beberapa remaja. Seperti di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan.
Data statistik PBB memperlihatkan sebanyak 16 juta gadis remaja yang berusia di bawah 18 tahun melahirkan setiap tahun. Sebanyak 3,2 juta remaja lagi menjalani aborsi yang tidak aman. Kehamilan di kalangan gadis remaja sering kali akibat diskriminasi, pelanggaran hak (termasuk pernikahan dini), pendidikan yang tidak layak, dan hubungan seks secara paksa.
Fakta kekinian di sekitar kita sesungguhnya menjadi bukti nyata, bahwa pacaran terbuka, seks bebas telah menyebabkan banyak orang berbuat sadis terhadap manusia, khususnya terhadap bayi yang dilahirkan dari hubungan gelap (married by accident), pemerkosaan dan hubungan suka-sama suka, namun tidak menghendaki lahirnya anak. Dalam beberapa bulan belakangan, di Aceh kita menikmati berita – berita miris tentang penjualan bayi, pembuangan bayi dan bahkan pembunuhan bayi yang dilakukan oleh orang tua sendiri. Padahal kita hidup di negeri syariat. Betapa jahanamnya tindakan ini bukan?
Memanglah sangat jahanam dan bahkan biadab sekali. Idealnya semua peristiwa itu menggugah nurani kita. Menjadi cambuk bagi kita bahwa saat ini untuk kembali melihat dan menilai semua yang kita lakukan, apakah masih berada pada rel atau track moralitas, nilai-nilai agama yang kita anut, serta apakah masih sesuai dengan harapkan atau tidak. Namun, bila melihat semua fakta yang terjadi saat ini, selayaknya dengan cepat sigap kita sikapi. Namun, untuk menyikapinya, tentu tidak bisa dengan pendekatan ala pemadam kebarakan. Kita baru merespon dan bertindak, setelah api menjilat dan menghanguskan kehidupan kita.
Apa yang harus kita lakukan saat ini adalah mengidentifikasi segala sebab musabab atau mencari akar masalah social yang kini terus terjadi tersebut. Munculnya praktek pacaran terbuka, seks bebas yang berujung pada tindakan pengguguran (aborsi), hingga pada tindakan yang lebih biadab yakni membuang/menjual dan membunuh bayi tersebut, adalah karena kesalahan kita bersama. Kita sudah meninggalkan dan memusnahkan nilai-nilai social, nilai agama, nilai budaya, local wisdom yang kita anggap ketinggalan zaman itu. Akibatnya, saat ini dalam pergulatan perubahan zaman, nilai-nilai moral yang dahulu mulia, sudah kita anggap tidak mulia. Norma agama yang seharusnya membimbing kita ke jalan yang selamat, sudah kita tinggalkan. Kita menuntut segala kebebasan dan terbebas dari semua nilai tersebut. Sayangnya ketika kebebasan itu kita miliki, kita kehilangan control. Apa yang terjadi saat ini, keluarga sebagai surau atau tempat kita menanamkan nilai-nilai moralitas, nilai agama, sudah rubuh. Padahal, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama dalam membangun kehidupan yang bermartabat. Keluarga bahkan sudah menyerahkan semua pendidikan anak ke pihak kedua, yakni sekolah. Sementara sekolah yang idealnya bisa mengajarkan etika, moralitas yang baik, kini keropos. Peran masyarakat sebagai lembaga pendidikan informal juga hancur. Oleh sebab itu, bangsa kita kini dihadapkan pada kehancuran moral. Maka, kehancuran moral pun terjadi dan kita kini terseret ke perilaku manusia di zaman jahiliyah, zaman yang dahulu kita kutuk.
Dalam kondisi yang semakin buruk ini, kiranya semua pihak tidak boleh tinggal diam, terlalu permisif dan apatis. Semua pihak harus mau merespon keadaan ini, bila tidak terus terperosok jauh ke dalam kehancuran moral yang parah. Oleh sebab itu, semua pihak harus mengambil peran. Keluarga harus kembali menjadi lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam menanam nilia-nilai moral atau akhlak yang mulia, menumbuhkan rasa malu dalam berbuat hal yang salah dan tercela. Sekolah pun saat ini harus meluruskan kiblat dan orientasi pendidikan, agar tidak hanya mengejar nilai-nilai atau angka-angka di rapor, tetapi harus kembali pada ajaran akhlak yang mulia. Sementara masyarakat dan pemerintah harus kembali memegang peran control social, agar perjalanan kehidupan tetap pada track moralitas yang baik.
Tentu banyak jalan ke arah yang lebih baik. Semua terpulang pada kita, bagaimana kuta menghubungkan kembali tri pusat pendidikan yakni, keluarga, sekolah dan masyarakat dapat menjalankan fungsi pendidikan untuk memperbaiki moralitas bangsa yang sedang hancur ini.