Oleh Moni Mutia Liza
Mahasiswi FKIP Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh
“Hancurnya masa depan bangsa saat narkoba bergerilya merampas nyawa”. Kalimat tersebut memang benar adanya. Indonesia termasuk Aceh berada dalam katagori darurat narkoba yang telah memakan korban jutaan jiwa generasi Indonesia. Berdasarkan survei nasional yang dilakukan pada 2011, terdapat angka prevalensi sebesar 2,2 persen dari jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 4 juta penduduk Indonesia yang menyalahgunakan atau mengonsumsi narkoba. BNN telah berhasil mengungkap 108.701 kasus narkoba dengan 134.117 tersangka. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22 persen atau sekitar 880 ribu berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa. Bahkan tak jarang murid SD pun telah banyak mengkonsumsi narkoba. (tempo.com, 12/02/2015)
Fenomena konsumsi narkoba setiap tahunnya selalu meningkat di kalangan remaja hingga orang dewasa. Tak terkecuali di Aceh yang menjadi pusat perhatian narkoba. Pasalnya Aceh dengan gelarnya Nanggroe syariat, ternyata menjadi tempat produsen narkoba terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand. Tercatat sepanjang 2014, Polda Aceh sedikitnya menemukan 64 hektar ladang ganja yang tersebar di 32 titik di pegunungan Aceh Besar dengan jumlah tanaman hampir 300 ribu batang. Ironisnya banyak masyarakat Aceh memenuhi kebutuhannya dengan menjual barang haram ini dan tak jarang aparat negarapun ikut andil dalam memupuk usaha narkoba. (okezone news, 29/08/2014)
Pada dasarnya narkoba memang membawa kenikmatan bagi sebagian besar pemuda yang berkecimpung di dunia gelap. Namun, akibat mengkonsumsi narkoba jumlah kriminal, pelecehan seksual hingga kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat. kemudian “Virus ” narkoba ini juga telah menggerogoti jiwa yang berakhir pada kematian yang sia-sia. Berdasarkan data BNN, tercatat tiap hari 40 pemakai narkoba meninggal dunia. Jika dikalkulasikan per tahunnya sekitar 14 ribu jiwa meninggal hanya karena mengkonsumsi narkoba.
Dampak buruk lainnya adalah siswa putus sekolah dan banyak yang gila setelah mengkonsumsi narkoba, bahkan tak jarang melakukan pembunuhan saat keinginan mereka tak terpenuhi. Menanggapi hal ini, tentu pemerintah punya solusi. Namun sejauh ini solusi tersebut belum bisa menumpas narkoba secara total, sebab ada beberapa hal yang menjadi kendalanya yaitu kurangnya fasilitas rehabilitas untuk pengguna narkoba, adanya oknum aparat negara yang juga terlibat melindungi pengedar narkoba dan penerapan hukum yang tidak merata.
Adapun solusi pemerintah Indonesia yang paling praktis adalah hukuman mati. Ini adalah solusi yang tepat. Sebab, perkara narkoba adalah perkara yang urgent. Tercatat sebanyak 315 juta orang pada usia produktif 15 hingga 64 tahun mengkonsumsi narkoba. (Tempo.com, 26/06/2014). Dengan jumlah pengguna narkoba yang begitu besar tentu akan membawa masa depan Indonesia khususnya Aceh menjadi lebih suram. Meskipun demikian, ancaman terhadap pelaksanaan hukuman mati kepada pengguna narkoba tingkat tinggi terus berdatangan baik dari PBB, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott serta pihak asing lainnya. Mereka beralasan bahwa itu melanggar HAM. Padahal dalam mukadimah UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988, Pasal 24 dari Konvensi ini menjelaskan bahwa pihak negara berwenang untuk menjatuhkan hukuman yang tegas kepada pelaku kejahatan narkoba. (tempo.co, 16/02/2015).
Pada hakikatnya hukuman mati adalah hukuman yang memberikan efek jera kepada pelaku narkoba. Namun, penerapan hukum yang belum merata ini mengakibatkan pengguna narkoba masih bebas berkeliaran di tempat-tempat tertentu. Selanjutnya adanya kerja sama antara oknum aparat negara dengan pihak pengedar narkoba menjadikan narkoba sulit diberantas hingga tuntas. Selain itu kurangnya keseriusan pemerintah menanggani hal ini. Terbukti bahwa selama empat tahun terakhir kasus narkoba semakin meningkat dan jumlah kematian akibat konsumsi narkoba juga semakin bertambah.
Adapun faktor yang menyebabkan narkoba tak kunjung usai juga disebabkan karena sanksi yang berlaku adalah sanksi “jabatan”, maksudnya bagi pelaku kejahatan yang berdasi dan bermodal besar dapat bebas setelah terdaftar sebagai pelaku kejahatan, sedangkan orang miskin disiksa dan diperlakukan secara tidak adil. Memang benar, Indonesia bahkan Aceh masih terdapat KKN dalam penerapan hukum. Akhirnya hukum hanya berlaku untuk orang miskin, tapi tumpul untuk orang yang kaya.
Kemudian, lemahnya ekonomi bangsa membuat para pengangguran beralih untuk menjadi pengguna narkoba sekaligus pengedarnya. Sebab keuntungan menjual narkoba mampu menutupi ekonomi keluarga, meskipun memiliki dampak negatif yang cukup besar dalam masyarakat, ekonomi, budaya dan negara.
Untuk mengakhiri narkoba ini diperlukan semua komponen masyarakat untuk memerangi narkoba ini. Tentu saja dimulai dari keluarga. Sebab keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Pemahaman agama harus terpatri dalam jiwa-jiwa generasi Indonesia termasuk Aceh. Kemudian perlu pula peran dari masyarakat untuk mengontrol individu dari aktivitas yang merugikan generasi bangsa. Serta penerapan hukum yang tegas dan merata dalam semua lini kehidupan.
Penerapan hukum yang tumpul ini hanya berlaku pada sistem buatan manusia. Sebab sangat mudah terjadi kompromi dalam penetapan hukum. Namun beda halnya dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Hukum yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah ini sudah sangat kompleks dan sempurna. Mengandung ketegasan, keadilan, efek jera dan diampuni dosanya oleh Allah di akhirat kelak (berlaku untuk muslim). Terbukti selama 13 abad pentas sejarah Islam berjaya hanya terdapat 200-300 kasus saja. Namun tidak dengan sistem yang diterapkan saat ini, jauh dari kata sejahtera dan penuh dengan kehidupan yang sempit lagi sengsara.
Sebenarnya Aceh yang mendapat hak untuk berhukum syariah, bisa segera menerapkan syariah secara kaffah bukan setengah-setengah. Apalagi penerapan syariah Islam sudah disegel oleh Allah sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. wallahu’alam.