Oleh: Elvida
Suasana sore itu tampak ramai seperti hari-hari biasanya. Persimpangan itu seakan tak pernah mati hingga larut malam. Banyak warung kopi berjejaran di sepanjang jalan. Kenderaan lalu lalang dan kerumunan orang di pasar menjadi bukti bahwa keramaina tak pernah berhenti. Ada beberapa gerobak nasi goreng, martabak dan jajanan lainnya di jajakan di sepanjang simpang itu. Simpang Tujuh, Ule Kareng, begitu nama wilayah itu disebut oleh masyarakat Banda Aceh.
Ule kareng, memang terkenal dengan iko kopi Ule Kareng. Namun bila ingin menikmati makanan dengan taste berbeda, di persimpangan 7 Ulekareng, bisa kita nikmati yang lainnya. Salah satunya adalah burger ala Mira. Mira, perempuan asal Rantau, Kuala Simpang ini sudah memulai usahanya sejak tahun 2006. Berbekal pengalaman belajar dari seorang teman di Jakarta, Mira Kesumawaty mencoba berbisnis burger, roti bakar dan pop ice dengan memilih wilayah operasinya di Simpang Tujuh.
Mira, walau ia seorang perempuan yang tuna wicara, ia mampu membaca pasar dan mencoba meresponnya dengan cara kreatif. Ia membuka usaha makanan dengan usaha burger. Untuk memenuhi selera pembeli, dengan lihai Mira melayani pembeli. Ia menyediakan beberapa pilihan burger yang ditawarkan. Ada burger isi telur dan burger isi telur plus daging. Harganyapun sangat terjangkau untuk masyarakat biasa. Dengan gerobak yang sederhana burger Mira hampir tidak ada saingannya, karena hanya ada satu orang yang berjualan burger di simpang 7. Tangannya begitu cekatan membuat burger pesanan pelanggan. Mereka rela antrian demi mencicipi burger buatan Mira. Sekitar 15 menit burgerpun jadi. Selain burger ia juga menyajikan roti bakar dan pop ice.
Tampaknya tidak ada halangan bagi Mira, walaupun Mira menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi dengan pelanggannya. Tampaknya pelanggan paham maksudnya. Bila ada kendala komunikasi, Irwan Muhammad sang suami yang setia menemaninya berjualan siap membantu. Mereka berdua tercatat sebagai anggota Gerkatin Provinsi Aceh ( Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) yang diketuai oleh Irwan Muhammad. Ada sekitar 28 orang anggotanya. Di tengah keterbatasan berbicara, mereka tetap aktif melakukan aktifitas sehari-hari.
Mira menamatkan SLB+B, sekolah khusus untuk tuna rungu di Medan. Sebelum pindah ke Banda Aceh dia mengisi hari-harinya di kota Binjai. Di kota inilah dia mengembangkan bakat wirausahanya, mulai dari berjualan hingga membuka salon. Keahliannya dalam bidang kecantikan memang tidak perlu diragukan lagi. Dia pernah menjuarai beberapa lomba dalam bidang kecantikan di kota Binjai. Namun sejak pindah ke Banda Aceh usaha salon tidak begitu berkembang, karena lokasi kurang strategis. Mira tetap berobsesi membangun kedua usaha tersebut lebih maju ke depan, sesuai dengan motto hidupnya “ingin menjadi orang sukses”.
Harapan Mira kepada pemerintah Aceh supaya lebih memperhatikan komunitas tuna rungu agar tidak menjadi pengangguran dan tergantung kepada orang lain. Ia berharap agar masyarakat tidak memandang para difabel (different abilities people) atau orang dengan kemampuan yang berbeda, sebagai orang dengan kondisi tidak normal. Namun mereka layak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki potensi serta kemandirian dalam hidup.