Oleh Tabrani Yunis
Warga Kota Banda Aceh yang berdomisili di Banda Aceh
Setiap kali melakukan olah raga pagi mengelilingi jalan lingkar di bawah jembatan Pango hingga ke depan Politeknik Aceh, setiap kali pula mata tertuju pada sebuah fasilitas public, berupa bangunan kecil di pinggir sungai krueng Aceh. Bangunan berwarna merah, berupa tempat untuk duduk beristirahat dan rekreasi tersebut, menarik perhatian dan tanda tanya. Paling tidak, ada beberapa pertanyaan yang mencuat di pikiran. Misalnya, untuk apa bangunan itu dibuat? Siapa yang membangunnya? Lalu, mengapa pula bangunan itu, tidak terawat dan dibiarkan rusak? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang wajar dari orang yang masih dianugerahi rasa ingin tahu, rasa peduli dan merasa prihatin, karena bangunan itu terkesan mubazir. Ya, sia-sia. Karena, pasti untuk membangun bangunan itu banyak mengeluarkan biaya.
Padahal, sesungguhnya, bila kita lihat dari sudut fungsi dan kegunaannya, bangunan itu bisa dijadikan sebagai ruang public (public space) bagi masyarakat kota Banda Aceh yang selama ini sangat minim. Namun, entah memang disengaja atau tidak, bangunan di pinggir kali atau Krueng Aceh itu mulai rusak ditelan masa. Bila kita lihat langsung ke bangunan tersebut, ada bagian-bagian yang sudah rusak. Ibaratnya, bangunan yang tak bertuan. Ya mungkin saja bangunan itu tidak ada pemiliknya, atau ketika dibangun dulu, posisinya ada pada posisi aji mumpung, selagi banyak dana di Aceh, asal bisa dihabiskan, ya bangun saja.
Ternyata, bangunan itu bukan satu-satunya di Krueng Aceh tersebut. Bangunan yang sama ada di pinggir Krueng Aceh dekat kompleks Budha Suchi, Pante Riek. Nasibnya juga sama. Menjadi bangunan yang tersia-sia. Sekali lagi, pertanyaan kita adalah mengapa fasilitas itu disia-siakan? Sebaiknya kita cari tahu, mengapa bangun tersebut terdampar begitu saja.
Nah, melihat nasib kedua bangunan tersebut, mengingatkan penulis pada suasana di sepanjang sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Sungai musi yang sangat luas, yang di atasnya berdiri bangunan jembatan Ampera yang megah, dikenal dan selalu memberikan pesona kepada semua orang yang ingin berkunjung ke Palembang. Sungai Musi itu, merupakan anugerah Allah yang sangat besar dan memberikan manfaat bagi umat manusia, ya masyarakat Palembang tersebut. Sungai yang luas tersebut menjadi sumber kehidupan, sumber ekonomi masyarakat di kota empek-empek tersebut. Sungai tersebut menjadi sumber ekonomi dan pariwisata, karena keberadaan sungai itu dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat dan pemerintah kota Palembang tersebut.
Siapa saja, terutama orang-orang yang suka mengamati dinamika kehidupan, sungai Musi dengan jembatan Amperanya itu, pasti menemukan inspirasi dari sungai dan jembatan itu. Ada denyut ekonomi yang sangat berarti di pinggiran sungai tersebut. Cobalah berjalan di daerah pasar 16 yang terletak di pinggir sungai Musi itu. Ada sederetan warung makanan dan minuman yang menawarkan sejumlah makanan dan minuman bagi para pengunjung dan orang-orang yang akan menumpang boat dan getek atau perahu mesin yang menjadi alat trasportasi air yang sangat dinamis dan banyak digunakan masyarakat Palembang tersebut. Di tebing sungai, tempat boat, speed boat, getek dan perahu mesin bersandar, banyak pedagan kecil yang menjajakan dagangan mereka. Sesekali datang pula sekelompok pengamen yang tampil dengan sangat kreatif dan menarik perhatian banyak orang. Mereka mengais rezeki dengan menyanyikan sejumlah lagu yang menghentak-hentak sudut hati para pengunjung. Sementara daya tarik warung-warung terapung di bibir sungai itu, menarik minat orang untuk menikmati sajian makanan di atas warung terapung atau perahu berbentuk rumah yang dijadikan warung. Sambil menikmati makan, kita merasakan goyangan rumah makan, karena ombak di sungai musi tersebut. Selain itu, daya Tarik jembatan Ampera juga tak kalah penting. Orang-orang yang datang ke kota ini, selalu saja ingin mengabadikannya ke dalam photo-photo yang kini kita sebut selfie itu. Sungai Musi dan jembatan Ampera itu, ternyata benar-benar memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat kota Palembang.
Lalu, apa kaitan antara sungai Musi dengan jembatan Amperanya tersebut dengan kedua bangunan yang sia-sia di Krueng Aeeh tersebut? Tentu akan sangat terkait. Sungai Musi dan jembatan Ampera bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk kedua bangunan di pinggiran Krueng Aceh dan kota Banda Aceh pada umumnya. Hal yang pertama untuk dikaitkan adalah agar pemerintah kota Banda Aceh memungsikan kedua bangunan tersebut sehingga memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah kota dan juga bagi masyarakat kota Banda Aceh.
Sebagaimana halnya di kota Palembang yang memiliki sungai Musi dan jembatan Ampera, kiranya pemerintah kota Banda Aceh bisa mereplikasi apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah kota Palembang tersebut. Pertama, kedua bangunan yang disia-siakan di desa Pango Raya dan Pante Riek tersebut harus dimanfaatkan agar mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan pemkot Banda Aceh. Kedua, pemnafaatan kedua fasilitas tersebut akan membantu pemerintah dan masyarakat dalam banyak hal. Oleh sebab itu, apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota Banda Aceh adalah membangun transportasi air di kota Banda Aceh. Bangunan yang ada di desa Pango raya, depan Politeknik Aceh tersebut dapat dijadikan sebagai pelabuhan yang menghubungkan desa Pango Raya dengan Peunayong dan kota Lambaro, Aceh Besar. Untuk membuat kedua bangunan yang disia-siakan itu menjadi bagian dari alat transportasi kota Banda Aceh yang sudah dihantui oleh kemacetan tersebut. Pemerintah kota, dengan dinas perhubungan kota, serta dinas Pariwisata kota Banda Aceh, bekerja sama menyediakan beberapa alat transportasi air, seperti speed boat maupun getek yang bisa melayani masyarakat yang hendak berbelanja atau berpergian ke Peunayong, atau ke Lambaro. Bukan saja untuk berbelanja ke dua pasar tersebut, tetapi juga untuk bisa dijadikan sebagai kegiatan wisata air di kota Banda Aceh. Selain itu, agar masyarakat di kedua belah sisi sungai bisa lebih mudah terhubung, pemerintah kota selayaknya juga membangun beberapa jembatan gantung, yang bisa dilewati oleh pejalan kaki yang akan menyeberang ke sebelah sungai.
Dengan demikian, akan banyak keuntungan yang bisa diraih.paling kurang ada 3 sektor yang akan menggeliat. Pertama, keberadaan alat transportasi sungai tersebut akan membawa dampak yang signifikan untuk menumbuhkan ekonomi kreatif kota Banda Banda Aceh. Misalnya, tumbuhnya kegiatan ekonomi skala kecil di wilayah pelabuhan di desa Pango, Pante Riek, Penayong dan Lambaro. Di wilayah pelabuhan ini akan muncul kegiatan ekonomi dalam bentuk penjualan produk dan pelayanan. Agar denyut ekonomi kian terasa, pemkot bisa menyediakan jasa penyewaan tempat usaha di sekitar pelabuhan yang ada. Kedua, keberadaan transportasi air di kota Madani ini, akan menjadi alternative transportasi masyarakat yang akan pergi dan berbelanja di wilayah Peunayong, Lambaro dan bahkan hubungan ke Pante Riek dan Pango Raya, seperti halnya transportasi bagi mahasiswa Politeknik. Dengan demikian, akan mengurangi sedikit kemacaten kota Banda Aceh, karena penggunaan kenderaan pribadi. Bisa saja, alat trasnportasi ini sebagai wujud penyediaan Trans Koetaraja dua yang jauh lebih murah dibandingkan bus. Keuntungan ketiga adalah keuntungan dunia pariwisata kota Banda Aceh. Tak dapat dipungkiri, bila Pemkot Banda Aceh menyediakan trasnportasi air di Krueng Aceh ini, akan membawa dampak positif bagi pembangunan sector wisata di kota Banda Aceh yang saat ini sangat kurang hiburan dan ruang rekreasi serta minimnya ruang public itu.
Agar transportasi air tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan, maka diperlukan kegiatan atau aksi edukasi terhadap masyarakat yang menggunakan jasa transportasi air tersebut, agar tidak mengotori sungai dengan tabiat membuang sampah ke sungai. Begitu pula dengan jumlah alat transportasinya, harus disesuaikan dengan kapasitas sungai, sehingga tidak padat dan merusak lingkungan. Artinya, pemkot dan masyarakat tetap harus bijak terhadap persoalan lingkungan hidup. Selayaknya, hal ini menjadi wacana dan bahan kajian pemerintah kota Madani ini. Semoga