Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh
Beberapa waktu lalu, di awal tahun 2016, tepatnya bulan Januari 2016 saya ikut mengikuti dan menyimak berita menarik Aceh Barat Daya (ABDYA). Ya, Kabupaten yang tergolong baru ini sempat menjadi objek pemberitaan berbagai media, cetak, elektronik dan media- online di Aceh. Perhatian sejumlah media ke daerah tersebut karena Pemkab ABDYA) melakukan pencanangan Gerakan Gemar Membaca (GGM) di lapangan Persada Blang Pidie dengan melibatkan ribuan pelajar dari berbagai tingkat dan sejumlah instansi terkait.
Sebagai putra daerah, yang dilahirkan di Kecamatan Manggeng, Kabupaten tersebut, saya ikut merasa bangga dan senang serta layak memberikan apresiasi kepada Pemkab ABDYA atas prakarsa membangun gerakan gemar membaca tersebut. Saya terharu seraya berujar. Alhamdulilah. Saya sadar sekali bahwa pendeklarasian ini merupakan wujud bahwa Pemkab ABDYA sudah menemukan hakikat akar persoalan pendidikan di daerah ini. Ya, sesungguhnya rendahnya kualitas hidup, rendahnya pendidikan, baik kualitas siswa maupun kualitas guru bermuara dari persoalan rendahnya minat baca. Pemkab Abdya mulai sadar bahwa buruknya nilai UN dan hasil UKG guru serta lambannya pembangunan manusia di daerah ini, adalah akibat buruknya minat baca. Nilai UN, hasil rerata UKG dan masih rendahnya IPM adalah fakta yang ada di puncak gunung es. Sementara akarnya yang harus dilakukan transformasi selama ini tidak tampak dan tidak disadari. Pemkab dan Jajaran Dinas pendidikan sebelumnya hanya berperilaku memberikan reaksi terhadap fakta rendahnya kualitas UN, UKG dan yang lahir akibat dari rendahnya budaya baca.
Semoga tidak keliru bila saya mengatakan bahwa Pemkab Aceh Barat Daya sudah mulai terjaga dari tidur. Ya pemkab Abdya sudah menemukan kesadaran baru bahwa sesungguhnya ketertinggalan daerah pantai barat selama ini dibandingkan dengan daerah lain di Aceh adalah karena rendahnya minat baca, bukan saja di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan dunia pendidikan di berbagai tingkatan. Ya, membaca belum menjadi sebuah kebutuhan, walau sebenarnya membaca adalah kebutuhan setiap orang.
Banyak fakta yang dapat dijadikan sebagai bukti rendahnya budaya baca di daerah ini. Salah satunya, apa yang diakui dan dipaparkan oleh kepala Dinas pendidikan Kabupaten ini, Drs. Yusnaidi dalam sambutannya menyebutkan, indonesia, Aceh, bahkan Aceh Barat Daya masih minim dalam bidang membaca. Oleh sebab itu, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Untuk itu, melalui gerakan tersebut diharapkan setiap sudut sekolah di Abdya membiasakan anak membaca. Sehingga kegiatan membaca bisa menjadi kesenangan baru bagi anak-anak di Abdya.
Jadi, pencanangan gerakan membaca di lapangan Persada, Blang Pidie itu, bisa jadi momentum yang sangat bagus untuk mencerdaskan rakyat dan pengelola negara di tingkat lokal. Hmm, kita perlu mengapresiasi inisiatif pemkab Aceh Barat Daya untuk memulai gerakan tersebut. Alasannya sangat logis, karena untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kuncinya ada pada kemauan membaca. Membaca itu adalah upaya untuk memperoleh ilmu, ketrampilan dan juga perubahan sikap, perilaku, dan sejenisnya. Dengan membaca, kita akan mampu meningkatkan kualitas literasi yang bukan saja pada tataran bisa mengeja, membaca secara literal, tetapi lebih jauh lagi mampu memahami apa yang dibaca, mampu menganalisis apa yang dibaca dan selanjutnya menemukan solusi dari masalah yang dihadapi serta mampu mengekspresikan kembali atau mereproduksi apa yang sudah dibaca.
Sekali lagi, mari kita apresiasi apa yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Kabupetan Aceh Barat Daya tersebut. Tentu saja, deklarasi dan pencanangan itu bukan sebagai bentuk selebrasi untuk mengejar popularitas para penguasa. Ya, bukan pula sebagai kegiatan atau program yang kita kenal sebagai kegiatan yang panas- panas tahi ayam, yang hanya panas sekejab, lalu mendingin dan mendingin hingga semangat membara untuk membangun budaya baca. Sehingga kelak hanya tinggal cerita dan penghias bibir palsu. Itu hanya sehuah komoditas politik semata. Tentu bukan itu.
Kita memang harus yakin dan percaya bahwa niat untuk mengangun budaya literasi itu bukan sekedar selebrasi atau panas-panas tahi ayam dan sebagai komoditas politik para penguasa. Bukan pula sekedar yakin, tetapi kita harus pula bisa membantu pihak penguasa di Abdya untuk memperkuat komitmen membangun budaya baca karena kita memang membutuhkan kemampuan literasi tersebut. Bantuan yang dimaksud, bisa bantuan material, maupun immaterial.
Sekali lagi, sebagai putra kelahiran Manggeng yang sudah lama meninggalkan kampong halaman, saya ingin berkontribusi untuk bisa ikut serta membangun kecerdasan generasi muda, anak-anak yang ada di kabupaten Aceh Barat Daya. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus kita lakukan bersama. Pertama, mungkin ini sudah dimulai, namun tidak salah bila kita ingatkan kembali. Sebagai langkah persiapan dan proses membangun gerakan gemar membaca, kegiatan membangun kesadaran, baik kepala sekolah, guru dan peserta didik harus dilakukan pada awal program ini. Membangun kesadaran baru, dengan melihat dan mencari akar masalah (persoalan) yang menyebabkan rendahnya kulaitas pendidikan ( guru dan siswa) yang selama ini diukur dengan UN dan UKG itu. Ini penting, karena ketika kita ingin mengubah atau ingin melakukan perbaikan, kita tahu apa masalah utama yang harus kita atasi bersama. Kegiatan ini, harus terus dilakukan, walaupun sudah dalam proses lain. Kedua, yang berkaitan dengan aktivitas membangun budaya baca. Kegiatan yang harus dilakukan ( mungkin sudah dilakukan) adalah memulai aktivitas membaca bersama-sama, guru dan peserta didik di awal jam sekolah. Minimal 15 menit atau lebih setiap hari atau sesuai dengan jadwal yang dibuat. Namun akan sangat baik, bila dilakukan setiap hari. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membiasakan anak selalu membaca dan menjadikan aktivtas membaca sebagai sebuah kebutuhan dan tradisi.
Nah, agar kegiatan ini tidak monoton, guru bisa menggunakan kreativitas mereka sebagai tindak lanjut ( follow up) dari aktivitas membaca tersebut. Salah satunya adalah dengan meminta salah satu anak untuk menceritakan kembali di depan kelas apa yang mereka baca. Langkah ini juga menjadi penting dan berguna untuk melatih kemampuan berbicara ( public speaking) dan membangun rasa percaya diri ( self-confidence) anak. Tidak perlu banyak anak yang diminta untuk maju. Bisa saja satu hari satu orang. Jangan lupa, guru harus terbiasa memberikan penghargaan kepada anak. Penghargaan yang sangat murah adalah memberikan pujian kepada anak yang mau maju ke depan. Baru setelah itu, guru juga pada ingkat lanjutan, bisa meminta anak menuliskan kembali apa yang mereka baca. Jadi kegiatan dan hasilnya juga bisa menjadi lebih produktif.
Selanjutnya, sebagai konsekwensi dari upaya membangun gerakan gemar membaca ini, Sekolah atau Pemkab Abdya harus melakukan kegitan monitoring dan evaluasi secara berkala, agar kegiatan ini tidak terhenti di tengah jalan. Lalu, selain itu, tugas sekolah dan pemerintah Kabupaten lewat Dinas Pendidikan kabupaten adalah menyediakan kebijakan dan anggaran yang cukup untuk penyediaan bahan bacaan. Selama ini, penyediaan bahan bacaan berupa buku dan majalah serta surat kabar yang menarik untuk dibaca, sangat diabaikan. Kalau pun membeli buku, atau bacaan, pendekatannya adalah pendekatan proyek. Artinya membeli buku atau bacaan dengan tidak memperhitungkan apakah buku-buku atau bacaan yang dibeli menarik bagi anak atau tidak, yang penting sudah beli buku, soal menarik atau tidak itu soal kedua. Sehingga bisa saja, buku- buku yang sudah dibeli tersebut, menjadi buku pusaka yang tidak boleh dijamah oleh anak atau guru. Ini adalah fenomena yang lazim, bukan hanya di Aceh Barat Daya, tetapi berlaku umum. Oleh sebab itu, sembari membangun gerakan gemar membaca, perilaku buruk dalam penyediaan buku atau bacaan di sekolah juga harus segera diakhiri.
Kita memang membutuhkan perpustakaan yang lengkap, namun untuk program literasi seperti ini, kita tidak wajib membuat perpustakaan yang megah. Cukup dengan menyediakan sejumlah buku/bacaan ( sesuai dengan jumlah anak) di setiap kelas. Jangan lupa diganti setelah habis dibaca oleh anak. Buku/bacaan bisa saja ditukar dengan kelas lain yang belum membacanya. Jadi, tidak perlu banyak sekali. Yang penting kepala sekolah juga tidak boleh selalu berkata tidak ada dana untuk membeli buku atau bacaan.
Tentu banyak cara yang bisa ditempuh oleh Sekolah, Dinas Pendidukan Abdya dan pemkab Abdya untuk menyukseskan program gemar membaca yang mencerdaskan ini. Yang penting kemauan politik (political will) Pemkab harus selalu berada di track yang benar. Insya Allah selalu ada jalan. Saya, tentu saja bisa ikut berpartisipasi dengan media / majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas yang saya terbitkan. Mari kita wujudkan dengan komitmen yang tinggi.