Oleh: Ahmad Arif | Pendiri dan Pemilik Pustaka RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh
Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia, sesudah Amerika, dan China dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang. Dari total pengguna internet saat ini, 49,9% adalah perempuan dan 30% anak. Menurut Linda Gumelar, Menteri KPP-PA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), kondisi ini tentu saja membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat.
Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya digunakan untuk me”trafik” anak maupun remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi.
Survei yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati pada 2008 (republika.co.id, 29/10/2012) menunjukkan data dari 1.625 siswa Sekolah Dasar kelas 4-6 di Jabotabek, hasilnya sebanyak 66% anak pernah menyaksikan konten porno. Konten porno ini sebanyak 24% dari komik, 18% dari game online, 16% dari situs porno, dan 14% dari film dan situs porno serta telepon selular.
Hasil lain survey itu juga menunjukkan, 36% anak mengakses materi pornografi di rumah, 12% di rumah teman, dan 18% di warung internet. Alasan anak-anak ini menyaksikan konten porno juga sebagian besar atau 27% karena iseng. Sedangkan 10% karena dipengaruhi teman dan empat persen takut dikatakan tidak gaul.
Jeff Wu, selaku Head of Government & Law Enforcement Relation dari Facebook untuk Asia Pasific mengatakan, pengguna FB di Indonesia menjadi salah satu dari 10 Negara yang sering melakukan pelanggaran meng-upload gambar-gambar yang terkait dengan eksploitasi seksual terhadap anak. Merujuk pada data NCMEC for Child Exploitation periode 1 Juni – 15 September 2012, tercatat ada 18,747 gambar yang diupload pengguna di Indonesia di mana indikasinya 90,2% menggunakan bahasa Indonesia (Odi Shalahuddin, kompasiana.com, 31/10/2012).
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, berdasarkan catatannya, setidaknya 129 anak, khususnya ABG yang terkena kasus penculikan disertai kekerasan seksual. Angka tersebut didapat dari Januari hingga Oktober 2012. Dua puluh tujuh kasus di antaranya korban kejahatan dari perkenalan lewat jejaring social (kompas.com, 14/10/2012).
Siapa “Anak” Itu?
Data-data tersebut sungguh sangat mengiris hati siapa saja yang membacanya, terlebih lagi para orang tua. Bagaimana dengan Aceh? Belum ada data pasti berbentuk angka-angka. Namun demikian, berita-berita kriminal yang dimuat dalam beragam surat kabar di local Aceh, sudah sering mengungkapkannya.
Sebelum membahas solusi atas problematika tersebut, kita semua perlu mengetahui siapa saja yang dimaksudkan dengan kata “anak” itu. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman atau pemahaman yang tumpang tindih dan atau cenderung berlebihan.
Merujuk kepada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA No. 23), yang dimaksudkan dengan “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Melindungi untuk Menyelamatkan
Pemerintah, orang tua, guru di sekolah dan masyarakat secara general merupakan tetra elemenika (empat elemen) yang seyogianya seiring sejalan dalam melakukan upaya perlindungan dari kejahatan seksual terhadap anak secara online. Keempat elemen itu dituntut untuk mampu berkomunikasi dan bersinergi. Bila tidak, maka masa depan generasi harapan bangsa menjadi tidak jelas.
Pemerintah bisa melakukan dua hal. Pertama, memblokir situs-situs porno secara permanen. Untuk mencegah meluasnya kejahatan seksual, pemerintah sejatinya bekerja sama dengan negara lain (khususnya produsen terbesar pornografi) untuk memblokir situs-situs yang dicurigai menjadi sarana interaksi dan transaksi kejahatan seksual.
Kedua, penegakan hukum secara tegas. Di Indonesia, sebagai pengunduh situs-situs porno nomor satu di dunia –menyusul kemudian India, Malaysia, Yunani, Turki, Italia, Filipina, Slovakia, Kanada dan Amerika Serikat- justru belum ada penindakan terhadap para pelaku. Tim Facebook sesungguhnya telah memberikan laporan dan dokumen-dokumen kepada Mabes Polri dan Polda DKI, serta telah melakukan kunjungan tiga kali ke Indonesia terkait dengan kasus yang dilaporkan, namun hingga saat ini dinilai belum ada aksi nyata. Ironis sekali bukan?
Berikutnya, orang tua di rumah, guru di sekolah dan masyarakat umum (khususnya pemuka agama dan tokoh masyarakat) berperan sangat signifikan dalam mengkomunikasikan dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi informasi kepada anak-anak. Tidak mungkin orangtua menghentikan secara utuh akses jaringan internet atau merenggut smartphone anak, apalagi memaksanya duduk manis di rumah sehingga tidak memiliki peluang bertemu orang-orang jahat di luar rumah.
Menurut Vivi Savitri, Psikolog bagian perkembangan anak UI (kompas.com, 1/11/2012) ada tiga hal penting yang harus dilakukan orangtua. Pertama, membangun komunikasi yang baik dengan anak sedini mungkin. Istilah populernya, komunikasi dua arah. Dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua juga harus memahami bahasa mereka. Alih-alih mencontohkan kehidupan jaman dulu, kadang relevansinya tidak sesuai dengan kondisi anak sekarang.
Kedua, menghadirkan kehangatan, rasa aman dan nyaman di rumah. Anak yang nyaman dengan keluarga cenderung berperilaku baik. Meski terprediksi tidak ada manusia yang berperilaku baik 100% , namun manusia pasti butuh kenyamanan berkomunikasi. Jika di dalam (keluarga) tidak ada, dia akan mencarinya di luar rumah dengan cara-cara yang mudah walau bertentangan dengan etika, norma, kepatutan social dan atau local wisdoms (kearifan lokal).
Ketiga, saat anak diketahui akan berpotensi bermasalah, jika telah terwujud komunikasi dua arah dengan baik, kita lebih mudah mengajaknya untuk memahami apa dampak dari berteman dengan orang dewasa di dunia maya, mengajak anak untuk lebih berhati-hati dengan sinyal-sinyal yang ditampilkan orang dewasa tersebut, serta apa yang harus dia lakukan apabila dalam kondisi tertentu diberitukan, dibekali pada mereka.
Namun, perlu juga diperhatikan, komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak juga. Apabila orangtua melihat anaknya yang masih kecil tiba-tiba melihat tayangan di internet yang berbau pornografi, orangtua dapat mengalihkan ke hal-hal lain. Konkritnya, respon orang tua tidak ekstrim, nanti malah membuat dia bertanya-tanya ada apa dengan tayangan itu sampai-sampai orangtua terlalu ketat menjaganya.
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Semoga.