Oleh Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh dan Pimpinan Redaksi Majalah POTRET.
Kualitas pendidikan Aceh, dari dulu hingga kini, masih belum banyak berubah. Masih bekum membuat hati kita lega. Masih membuat raut wajah kita kerut, karena sejak dahulu hingga kini, sejak dahulu minim dana, hingga kini banjir dana, kualitas pendidikan di Aceh masih saja digolongkan dalam kategori rendah dibandingkan daerah lain atau secara nasional dan dalam berbagai alat ukur dan objek atau elemen yang diukur. Bila membaca neraca pendidikan nasional (NPD) provinsi Aceh tahun 2015, ada beberapa fakta yang memilukan dan memalukan kita. Pertama, terkait dengan index Pembangunan Manusia (IPM) Aceh, berada pada urutan ke 11 dari 34 provinsi di Indonesia. Kedua, Ditinjau dari hasil proses belajar dengan menggunakan alat ukur ujian nasional (UN), rerata integritas UN siswa Aceh berada pada angka 54.97 sementara secara nasional berada pada angka 63.28. Ketiga, bila kita melihat pada elemen guru, yang menjadi ujung tombak dalam proses pelaksanaan pendidikan di lembaga pendidikan, ternyata sangat memprihatinkan. Dikatakan demikian, karena dalam neraca tersebut jelas terpampang kondisi guru kita. Bayangkanlah, ternyata hasil rerata ujian kompetensi guru ( UKG) 2015 Aceh berada pada nomor 3 dari bawah secara nasional, yakni pada angka 48,34. Padahal, semua tahu bahwa alokasi dana daerah untuk pendidikan Aceh akhir-akhir ini lebih tinggi dibandingkan dari daerah lain, yakni berada pada urutan nomor 2 secara nasional, sebesar 8.90 % dari total APBD. Bukan hanya itu, bila kita teliti alokasi dana daerah per siswa, ternyata alokasi dana daerah per siswa berada pada urutan kedua yakni Rp 987.400/ siswa/ tahun. Aceh berada di bawah Jakarta.
Nah, bila membaca fakta pendidikan Aceh dari neraca pendidikan daerah dan dalam perspektif selama ini, reaksi dan pendekatan yang ditempuh cendrung reaktif dan mengatasi masalah-masalah yang ada di permukaaan. Seperti fenomena gunung es, yang kelihatan hanya yang di permukaan. Persoalan kualitas pendidikan Aceh disikapi dengan melihat realitas di permukaan. Misalnya melihat angka kelulusan atau angka capaian hasil UN. Begitu juga dalam melihat persoalan kualitas guru, yang terlihat hanya pada nilai hasil UKG. Pendek kata, penilaian dan sentuhan intervensi hanya di permukaan. Buktinya, secara data dan fakta yang terlihat di dalam neraca pendidikan daerah berada pada dua elemen penting. Kedua elemen penting itu adalah tenaga pendidik ( guru) dan peserta didik di bebagai tingkat atau jenjang pendidikan. Artinya, kualitas guru dalam perspektif indicator UKG dan siswa dalam indicator UN sama-sama rendah. Kedua elemen ini selama ini menjadi indicator kualitas pendidikan di Aceh. Sehingga, kita banyak yang menyimpulkan bahwa penyebab rendahnya kualitas pendidikan, karena rendahnya kompetensi guru dan kualitas belajar para siswa kita. Tentu, sekali lagi tidak salah, karena sudut pandang kita juga saling berbeda. Apalagi kalau cara lihatnya memang hanya di permukaan, seperti melihat puncak gunung es. Jadi, wajar kalau yang tampak sesuai dengan fenomena gunung es. Persoalan yang kelihatan di puncak gunung es. Sementara akar masalahnya tidak terindentifikasi dengan baik dan tepat. Oleh sebab itu, ada baiknya realitas ini dianalisis dengan melihat akar masalah pendidikan kita. Sehingga, dalam melakukan terapi terhadap pendidikan di Aceh, pemerintah Aceh tidak salah lihat dan tidak salah cara atau salah memberikan obat.
Salah obat
Tak dapat dipungkiri bahwa persoalan atau penyakit pendidikan Aceh yang kronis dan klasik, terus diobati dengan cara dan pendekatan yang keliru atau salah obat. Salah satu contoh yang paling mutakhir adalah obat yang harganya sangat mahal, senilai 8.5 milyar rupiah yakni proyek pembelian videotron yang mendapat hujatan sangat berat dari masyarakat Aceh. Dikatakan salah obat, karena untuk mengobati pendidikan di Aceh yang sakit bukan harus diobati dengan videotron. Itu jelas salah obat. Karena sakitnya pendidikan Aceh bukan hanya di kepala, tetapi juga di ulu hati. Namun mengapa kepala Dinas pendidikan Aceh dan pemerintah Aceh terlanjur akan mengobatinya dengan obat mahal dan tidak bermanfaat itu? Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan salah obat. Beberapa kemungkinan tersebut di antaranya, Kepala Dinas pendidikan dan kebudayaan Aceh, dalam hal ini Drs. Hasanuddin Darjo, tidak memahami persoalan pendidikan Aceh dengan baik dan benar. Beliau tidak tahu dan tidak faham apa sebenarnya akar masalah pendidikan Aceh selama ini yang tidak tersentuh.
Kedua, bisa juga sebaliknya, dia faham persoalan pendidikan Aceh, namun karena program penyediaan videotron dianggap lebih praktis dilaksanakan dan lebih menguntungkan secara finansial, maka pilihan yang tepat adalah membeli videotron yang menelan biaya 8.5 milyar rupiah itu. Ketiga, Kadis Dikbud Aceh, ingin mendapatkan pengakuan atau legitimasi bahwa cara yang ditempuhnya sudah maju dalam bidang teknologi pendidikan, ingin kelihatan canggih, tetapi tidak sesuai untuk menyelesaikan carut marut persoalan pendidikan Aceh. Ke empat, karena tidak memahami dengan benar persoalan pendidikan Aceh, maka Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Aceh tidak memiliki skala prioritas untuk menyelesaikan persoalan pendidikan di Aceh. Akibatnya, rencana pembelian videotron tersebut bukan menjadi solusi bagi penyelesaian masalah pendidikan di Aceh, akan tetapi sebaliknya menjadi persoalan baru yang membebankan dunia pendidikan. Tidak ubahnya seperti kata orang, mengatasi masalah dengan masalah. Oleh sebab itu, program pengadaan videotron sangat layak untuk dihentikan dan dana sebesar 8.5 milyar tersebut dialihkan untuk pembangunan pendidikan yang lebih berdampak besar untuk peningkatan kualitas SDM masyarakat Aceh dan memberikan solusi terhadap akan masalah pendidikan di daerah ini.
Salah dokter
Selain salah memberikan obat dalam mengatasi sakitnya pendidikan Aceh selama ini, penyakit itu terkesan seperti dipelihara. Lalu, niat untuk mengobatinya juga sering tidak lurus. Ditambah lagi dengan tidak memahami atau tidak mengerti penyebab sakitnya pendidikan Aceh selama bertahun-tahun tersebut. Apalagi, pendekatannya pun serba project oriented dan serba fisik, reaktif serta tidak transformative. Kita bisa lihat lagi alternative yang diambil oleh Pemerintah Aceh yang memutuskan pembatalan pembelian videotron, kemudian dialihkan untuk membeli perangkat computer untuk sekolah-sekolah di Aceh seperti yang diberitakan Harian Serambi Indonesia, edisi Jumat 29 Juli 2016. Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah, akhirnya memerintahkan anggaran pengadaan lima unit videotron oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh dialihkan untuk memenuhi sarana komputer dalam rangkapersiapan menuju Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) untuk tingkat SMA/SMK dan MA pada 2017 mendatang. Gubernur Zaini menjelaskan, pasca-UNBK pada April 2016, ia mendapati banyak permasalahan serius yang terjadi di sejumlah daerah akibat terbatasnya komputer sekolah, sehingga menyebabkan waktu pelaksanaan UNBK terkendala.
Nah, melihat tawaran obat yang diberikan oleh Gubernur Aceh sebenarnya tidak jauh berubah. Hanya mengubah pembelian objek dari videotron ke perangkat computer. Lalu, apakah dengan mengalihkan anggaran pembelian videotron ke perangkat computer tersebut akan mengobat sakitnya pendidikan Aceh? Jawabannya, ini juga bukan obat mujarab. Karena persoalan sakitnya pendidikan Aceh, bukan karena kurang alat. BUkankah selama ini sekolah-sekolah kita sudah banyak yang dilengkapi dengan computer, tetapi komputernya hanya menjadi barang rongsokan?
Seharusnya pemerintah daerahberupaya memahami dengan benar persoalan pendidikan Aceh. Oleh sebab itu, harus ada upaya untuk mencari dan mengidentifikasi akar persoalan pendidikan Aceh dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak selalu salah obat dan salah dokter yang mengobatinya. Kemudian harus diikuti dengan niat yang lurus untuk mengobati sakitnya pendidikan Aceh. Sebab bila, Dinas Pendidikan dan Pemerintah daerah punya niat yang baik untuk mengobati pendidikan Aceh, maka setiap akan memberikan obat, akan dilakukan upaya-upaya diagnosis yang benar.
Jujur saja, bahwa bila diidentifikasi persoalan pendidikan dengan benar, maka kita akan menemukan akar persoalan yang harus segera dicabut atau diselesaikan. Akar utama masalah sakitnya pendidikan di Aceh, karena rendahnya minat baca, akan diikuti dengan rendahnya kemampuan literasi yang lain, seperti tingkat pemahaman, analisis dan solusi. Begitu pula dengan tingkat produktivitas masyarakat. Semuanya akan dalam keadaan sakit.
Nah, bila niat pemerintah dan Dinas pendidikan Aceh benar-benar ingin memperbaiki kualitas pendidikan di Aceh, maka yang pertama sekali harus dibangun adalah membangun minat baca di sekolah, baik siswa maupun para pendidik dan kepala sekolah. Dinas Pendidikan dan Pemerintah Aceh harus taat pada perintah Allah untuk iqra, atau dalam Bahasa global disebut dengan membangun budaya literasi. Untuk membangun budaya literasi tidak harus dengan videotron dan computer yang lengkap, akan tetapi dengan menyediakan bacaan yang menarik dan berkualitas bagi anak dan guru di sekolah. Tidak perlu membangun perpustakaan yang serba lengkap, cukup dengan menyediakan sejumlah buku di pojok-pojok baca di kelas dan di sekolah. Sangat banyak cara yang bisa dilakukan untukmembangun budaya iqra di sekolah. Salah satunya adalah dengan mengalihkan dana penyediaan videotron tersebut untuk program ini. Bila minat baca masyarakat sekolah meningkat, maka kualitas sumber daya manusia akan meningkat. Karena semakin banyak mereka membaca, maka kualitas daya cerna serta kemampuan mengatasi masalah yang muncul akan semakin berkualitas. Pertanyaannya, sekali lagi maukah kepala Dinas pendidikan dan pemerintah Daerah Aceh melakukan program yang transformative ini? Mari kita pasangkan niat baik kita untuk pendidikan Aceh.