Oleh Yulia Damayanti
Ia berlari tergesa-gesa seperti dikejar anjing gila malam itu. keringat mengalir dari dahinya, seperti ada suatu kepuasan di raut wajahnya, Segera ia masuk ke rumah dengan memelankan langkahnya.
“Fitri, belum jera rupanya ya?” tanya seorang perempuan paruh baya yang duduk di sebuah ruang yang agak gelap.
Ya, namanya fitri. Seorang gadis usia dua puluh tahun yang tak pernah mau peduli terhadap apa pun dalam hidupnya. Ibunya seorang guru pensiunan dan ayahnya sudah lama meninggal. Fitri memiliki seorang abang yang kini sudah menikah. Maka di rumah, hanya tinggal ia dan ibunya. Sejak SMA ia sudah terbiasa dengan kehidupan remaja yang sangat fulgar. Meski ia tinggal di Negeri yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam namun, sepertinya tak pernah ada masalah dengan apa yang ingin ia lakukan.
Sampai pada suatu ketika ia berteman dengan seorang laki-laki muda. Perkenalan itu berawal dari facebook yang kemudian beralih ke PIN Blackberry. Laki-laki itu bernama Fadly, sejak dua bulan dari perkenalan itu Fitri dan Fadli semakin dekat. Berawal dari kegalauan yang melanda hati sang Fitri, ia mengupdate status galau di dinding facebooknya. Kemudian Fadli datang tiba-tiba bak hujan yang turun di kala tanah sedang sangat gersang. Fitri pun menceritakan kisahnya.
“ Aku bukanlah perempuan yang baik. Aku tahu itu, namun entah karena keberuntungan tidak berpihak padaku, maka aku tak merasa keberatan jika siapapun yang menjadi pacarku merasakan nikmatnya tubuhku. Nafsu merajai seluruh aku, bukan hanya Separuh Aku’ ketika seorang laki-laki mulai menggenggam tangan dan meraba ke arah sensitifku, maka saat itu pula setan merasuk kedalam diriku. Kini siapa yang mampu menolongku?” itulah awal cerita kedekatan Fitri kepada Fadly. Kemudian, Fadly memberikan solusi, serta siap siaga mendengarkan keluh kesah gadis jalang itu.
Fitri tergolong remaja yang liar. Hiruk pikuk kehidupannya sangat jauh dari kata baik. Ia merelakan apapun yang menjadi miliknya untuk dimiliki oleh pacarnya, kecuali “itu”. suatu hari pada Rabu yang mendung, Fitri pulang sekolah sangat cepat karena ada rapat guru. Pintu rumah tertutup rapat, tapi tidak terkunci. Ibunya entah kemana. Fitri melangkah menuju kamar tidur, tak sengaja ia melihat pintu kamar abangnya yang sedikit terbuka. Ia melangkah seolah merasakan sesuatu yang tidak beres. Ternyata benar. Abangnya yang bekerja sebagai seorang penegak syariat Islam sedang melakukan sesuatu yang tidak wajar. Tubuh mereka dibiarkan terbuka. Keduanya sedang dikuasai birahi yang dahsyat. Fitri melongo melihat pemandangan di hadapannya. Setelah lama melakukan kegiatan bejat itu barulah mereka sadar bahwa ada sepasang mata yang sedang fokus memperhatikan mereka. Spontan, mereka yang sedang melakukan perbuatan bejat itu pun terkejut dan saling meraba selimut. Sejak kejadian itu tak pernah lagi terdengar suara bentakan abangnya itu. Padahal, biasanya laki-laki berkulit coklat itulah yang selalu menghajar Fitri ketika ia melakukan kesalahan. Kini, kemana pun Fitri pergi dan apa pun yang ia lakukan, tak pernah lagi dihiraukan. Sebab, bagaimana ia mau mengurusi adiknya, jika perbuatannya pun sama seperti anjing yang kehausan. Bahkan Fitripun muak dengan abangnya itu. Ibunya yang sudah tua apa lagi. Rasanya ibu paruh baya itu sudah tak sanggup mengeluarkan suara keras. Bahkan keberadaannya pun seakan tak pernah dianggap oleh Fitri. Keseharian perempuan bernama Eli itu hanya diisi dengan berzikir dan berbuat amal-amal baik.
Kedekatan Fitri dengan Fadly semakin dekat saja. Pada saat fitri dilanda penyakit galau, Fadly yang fasih dalam membacakan ayat Al-Quran selalu merekam suaranya melantunkan ayat suci yang kemudian voicenotenya dikirim kepada sang pujaan untuk mendinginkan hati yang sedang panas. Perlahan perubahan mulai terlihat. Fitri mulai mengenakan pakaian yang sopan saat ke sekolah. Ia juga mulai salat walau pun tidak lima waktu dalam sehari. Mungkin laki-laki yang seperti ini yang di nanti-nanti oleh Fitri. Laki-laki yang mampu membawa hidupnya ke arah yang benar. Lelaki yang sifatnya mendidik, bukan merusak. Setelah lima bulan kenal, akhirnya Fitri dan Fadly berpacaran. Belum satu bulan berpacaran mereka pun merencanakan pertemuan untuk yang pertama.
Tapi, sebelum pertemuan itu terjadi Fitri menceritakan apa yang pernah ia lakukan dengan mantan-mantan pacarnya.
“Tak ada yang belum dijamah oleh mereka, semua sudah mereka lihat lebih dulu. Hanya saja selaput daraku yang belum ditembus. Aku tak ingin menutup-nutupi sesuatu apa pun padamu. Karna sebentar lagi kau akan menjadi suamiku dan aku sangat menginginkan pernikahan itu. Aku melakukan perbuatan yang seperti itu di lorong beringin. Diantara dua rumah kosong. Sepi, senyap tak ada siapapun yang mengganggu. Justru bisikan semilir angin menambah kenikmatan ketika aku dan lawanku sedang panas-panasnya melakukan perbuatan bejat itu. sungguh tempat itu sangat terkutuk bagiku” ujar Fitri panjang.
“Tak masalah dengan hal itu karena aku benar mencintaimu dan ingin menjadikanmu istriku”. Sahut Fadly dengan sangat arif.
Tak lama setelah Fitri menceritakan hal itu mereka pun berjumpa. Mereka membuat janji di taman kota pada hari Sabtu sore sepulang Fitri kuliah. Sejak pertemuan itu mereka semakin lengket. Tak jarang mereka salat berjamaah di masjid. Terkadang Fadly juga mengajarkan Fitri membaca Al-Quran, jika ada waktu senggang. Kisah cinta Fitri dan Fadly terajut sangat indah. Tertata dengan rapi dan bersih dari perbuatan bejat. Semakin hari semakin baik hidup gadis yang memiliki nama lengkap Fitri Zahratusyifa itu. Hidupnya sedikit tertolong dengan kehadiran Fadly sang pujangga. Paling tidak akhiratnya sedikit terjamin saat ini.
Kamis malam, tanggal dua belas Juni, tepat pukul sembilan lewat dua puluh Fitri di antar Fadly pulang ke rumah usai salat dan belajar mengaji. Mereka melewati lorong beringin, tiba-tiba Fadly berhenti tepat di antara dua rumah kosong bernomor 21 dan 22B. Entah apa yang ada di fikiran Fadly. Sepertinya setan merasuki seluruh pikirannya. Ia membalikkan badan dan berhadapan dengan Fitri. Di sini, keduanyapun kerasukan setan. Nafsu sudah menang. Bahkan mereka tidak sadar. Naas memang, Fadly kebobolan. Namun, apa yang mau dikatakan. Semua sudah terjadi.
Dua bulan setelah itu Fitri mendapat kabar bahwa Fadly pergi ke luar Negeri untuk melanjutkan Strata II nya. Perut semakin buncit. Janin sudah membesar. Kini, lengkap sudah penderitaan Fitri. Ia pergi menelusuri jalan setapak tanpa tujuan. Tubuhnya melemah, wajahnya pucat pasi. Langkah lemahnya senja itu berakhir di ujung jalan. Tanpa pikir panjang ia melompat ke jurang kenistaan untuk mengakhiri jalan singkat kehidupannya.
Riwayat Penulis : saya Yulia Damayanti mahasiswa FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah. Saya gemar menulis cerpen, lahir delapan belas tahun lalu di kota Lhokseumawe.