Oleh: Maulidar Yusuf
“Maaf nak Silvi, saya belum bisa mengembalikan pinjaman modal kerupuk kemarin. Uangnya sudah saya kumpulkan, tapi hari ini saya sudah janji untuk mencarikan cicilan uang 500 ribu agar bisa menetap di rumah saya” ucap maaf Nyak Ti saat kami bersilaturrahmi kebarak pengungsi korban gempa dan tsunami. Awalnya kunjungan ini bukan untuk menagih modal yang pernah diberikan Silvi kepada Nyak Ti, namun ingin bersilaturrahmi dan melihat perkembangan kondisi Nyak Ti dan beberapa warga yang tinggal di Barak.
Nyak Ti (71 tahun) adalah korban bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004 silam. Dalam bencana tersebut, suami, anak-anak dan famili Nyak Ti meninggal dunia. Nyak Ti hanya tinggal seorang diri, tanpa keluarga. Saat ini, meskipun sudah berada pada penghujung tahun 2012, Nyak Ti masih tinggal di barak pengungsi tsunami tahun 2004.
Perlu diketahui, hidup di barak pengungsian bukanlah keinginan hati dari janda sebatang kara ini. Apalagi pemerintah dan sejumlah NGO telah memberikan bantuan rumah kepada semua pengungsi tsunami di Aceh. Namun, ada apa dengan Nyak Ti?.
Menjelang peringatan 8 tahun tsunami, Nyak Ti masih terseret berbagai persyaratan untuk mendapatkan rumahnya. Padahal Nyak Ti sudah memiliki surat kepemilikan rumah yang diserahkan langsung oleh BRR NAD-Nias dari dana hibah Asian Development Bank (ADB) kepadanya, lengkap beserta foto diri, dan tanda tangan Pleter Smid (Kepala Extended Mission in Sumatra Asian Development Bank) dan Ir. Bambang Sudiatmo (Bidang Pembangunan Perumahan dan Pemukiman, BRR NAD-Nias).
Perumahan tersebut terletak di kawasan Beuramoe, Lamreudeup Aceh Besar. Saat ini sertifikat tanah yang harusnya menjadi milik Nyak Ti berada tak jelas pada siapa, ada yang mengatakan sertifikat tanah dipengang oleh pihak Desa. Nyak Ti hanya memiliki photocopy sertifikat. Namun, untuk apa surat-surat rumah tersebut jika Nyak Ti masih tinggal di Barak penggungsian?!.
Nyak Ti mengungkapkan bahwa apa yang dialami Nyak Ti juga dialami oleh 39 masyarakat Aceh korban tsunami lainnya. Hanya satu dari mereka yang sudah berhasil menempati rumahnya, tiga diantaranya masih tinggal di Barak pengungsi dan 35 lain berpencar tak menentu. Padahal pihak donatur sudah menyerahkan kunci rumah dan surat kepemilikan rumah kepada mereka.
“Rumah kami ada yang huni, mereka meminta uang agar kami bisa masuk ke rumah tersebut” tutur Nyak Ti dalam perjalanan dari Barak ke Mireuk, untuk mengadaikan surat rumah agar bisa mendapatkan uang muka untuk pembayaran rumah. Persoalan permintaan pembayaran ini juga dialami oleh korban tsunami lainnya, harga yang diminta berkisar 3 juta sampai 20 juta.
“Jika tidak mencari pinjaman dari mana saya bisa dapatkan uang, hidup sebatang kara, kaki sakit, dan saya pun sudah tua” sambil berkaca-kaca Nyak Ti becerita, Nyak Ti berusaha untuk tidak pasrah. Berdasarkan penuturan Nyak Ti, pihak yang menduduki rumahnya merasa rumah tersebut tidak berpenghuni. Mereka mencoba menggantikan kunci rumah dan menetap disana. Padahal ketika pembangunan rumah dulu, pihak kontraktor tak mengizinkan Nyak Ti dan pengungsi lainnya tinggal dalam masa pembangunan rumah. Akan tetapi seiring waktu, ada pihak warga setempat yang tinggal di rumah tersebut, sehingga untuk meminta mereka meninggalkan rumah, saat ini harus melewati pembayaran yang tak mungkin disanggupi oleh Nyak Ti dan korban lainnya dalam waktu singkat.
Nyak Ti hanyalah seorang janda, sebatang kara yang berjualan kerupuk tepung ke kios-kios. Akan tetapi saat ini keadaan Nyak Ti sangat memprihatinkan. Kakinya sakit, membuat Nyak Ti sulit untuk berkeliling berjualan, ia hanya mampu menipkan kerupuk di kios-kios dekat dengan Barak saja.
#####
“Saya tidak ingin melaporkan mereka ke polisi, biarlah ini semua diselesaikan secara kekeluargaan. Saya takut, jika melalui jalur hukum akan ada pihak yang sakit hati, sehingga saya tidak tenang menetap di rumah saya”. Dalam penderitaan yang dialami Nyak Ti, saat ini ia memilih damai agar bisa mendapatkan haknya.
Menjelang peringatan delapan tahun musibah gempa dan tsunami di Aceh, luka dan derita Nyak Ti masih mengangga. Luka yang tak bersebab dari pisau, namun luka karena keserakahan dan kengkuhan. Besar harapan Nyak Ti agar keadilan dan kedamaian dapat tegak di bumi Aceh. Jangan sampai, tsunami harus menyapa sekali lagi agar keadilan dan kedamaian!
####
Tulisan ini adalah hasil perjalanan dan pendampingan beberapa korban tsunami di Barak pengungsian, Aceh Besar. Nyak Ti, bukan nama sebenarnya dari salah satu korban. Atas permintaan korban, penulis sudah berjanji untuk tidak menyebutkan nama sebenarnya. Korban tidak ingin dianggap cuak, dengan membongkar semua kejadian yang menimpanya. Kalaupun harus membayar mahal dari usia dan kemampuannya, ia akan berusaha memenuhinya. Meskipun Nyak Ti harus menjajakan kerupuk dengan kaki sakit ke kios-kios. Nyak Ti tak pernah tahu sampai kapan ia bisa mendapatkan sejumlah uang tersebut dan menetap tinggal di rumah yang layak, sambil menanti detik-detik keberangkatannya dari dunia yang fana ini. “Hanya Tuhan Yang Tahu, betapa saya sangat menderita”.