Oleh : Pangki T Hidayat
Masih ingat jelas bagi penulis, lirik pilu Winarno Surahmat, “Apakah artinya bertugas mulia, ketika kami hanya terpinggirkan, tanpa ditanya, tanpa disapa”. Perlahan namun pasti, ironi seperti itu pun mulai pupus. Pada awal 2009, pemerintah akhirnya memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari total jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itulah yang menjadi awal mula tonggak perubahan kesahteraan bagi profesi guru. Menjadi guru sudah tidak lagi menjadi pilihan yang dilematis, melainkan telah menjadi pilihan yang prestisius. Presitius karena di tengah sulitnya mencari lahan pekerjaan dan gelimangan gaji guru yang saat ini jauh lebih dari menjanjikan.
Jika dulu, guru berjalan dalam kesunyian, kini guru berjalan dengan tubuh tegak berdiri. Seolah ingin berkata ‘Saya adalah guru’. Maka tidak heran jika di Perguruan Tinggi yang menyediakan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP), ribuan orang kemudian berlomba-lomba mendaftar. Tujuan mereka hanya satu, yakni menjadi seorang guru. Meski begitu, tak semua guru mempunyai nasib yang sama. Ratusan, bahkan ribuan guru honorer nasibnya tetap saja masih memprihatinkan. Hidup sehari dengan gaji sebulan, tentu menjadi cermin buram guru-guru honorer kita.
Guru adalah profesi yang telah eksis sejak sejarah peradaban manusia ada. Guru diyakini sebagai salah satu penjamin keberlangsungan peradaban itu sendiri. Henri Adam, seorang sejarawan terkemuka, pernah mengatakan “A techer effects eternity, he can never tell where his influence stops”(seorang guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu di mana pengaruhnya itu berhenti). Mengingat demikian pentingnya keberadaan guru dalam membangun sebuah peradaban bangsa, maka tak heran jika Kaisar Jepang bertanya berapa jumlah guru yang tersisa di negerinya pasca-peristiwa bom atom tahun 1945. Dengan kata lain, untuk mengumpulkan puing-puing peradaban Jepang yang hancur pasca terkena bom atom, maka guru dirangkul dan diposisikan secara terhormat dan bermartabat. Tak heran jika dalam perkembangannya kemudian, negeri Dai Nippon itu mampu menjadi salah satu ‘Macan Asia’, bahkan dunia. Kemudian muncul pertanyaan, bisakah Indonesia menyamai atau bahkan melebihi prestasi Jepang dengan cara yang sama, yakni dengan menempatkan guru pada posisi yang bermartabat dan terhormat?. Sampai sejauh ini usaha pemerintah untuk menempatkan guru pada posisi yang bermartabat dan terhormat memang sedang diupayakan. Salah satunya dengan merealisasikan UU Nomor 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) tentang tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Meski begitu, nyatanya sampai detik ini tak nampak sedikitpun mutu dan kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Jika menilik ke belakang, guru tempo dulu adalah sosok yang benar-benar berdedikasi tinggi pada pendidikan dan karakter. Dengan segala keterbatasan, mereka mampu menghasilkan insan-insan yang berkualitas. Mereka sering kali abai terhadap gaji. Merekapun rela tidak digaji demi pendidikan anak bangsa, sebagaimana tergambar pada sosok Bu Mus dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Namun, sekarang banyak guru tergiur kemewahan. Mereka rela melakukan apapun demi mendapat selembar surat lulus sertifikasi. Kerja-kerja instanpun seringkali dilakukan demi hal itu. Tidak aneh, jika kualitas guru saat ini jauh dari harapan. Mereka tidak memutakhirkan teknik mengajar dan bacaan, sehingga kegiatan pembelajaran seringkali menjadi membosankan. Semua itu tentu berimbas kepada siswa. Di luar hal-hal yang terkait bidang akademik, prestasi guru sekarang juga bisa dikatakan kurang bagus. Contoh nyatanya yakni semakin masifnya intensitas tawuran di kalangan pelajar dan kenakalan-kenakalan pelajar lainya. Inilah akibat dari misorientasi yang terjadi pada profesi guru saat ini. Menjadi seorang guru tak lagi murni karena keinginan untuk mengabdi dan mendidik generasi bangsa, melainkan sudah terkontaminasi oleh keinginan yang kuat untuk memperkaya diri. Akibatnya, banyak guru yang kemudian muncul ke permukaan tanpa memiliki filosofi mengajar seorang guru. Mereka hanya mengajar seadanya tanpa didasari dengan rasa tanggung jawab dan pengabdian seperti yang bisa kita lihat pada guru-guru zaman dulu. Filosofi luhur itulah yang kini tergerus oleh arus deras konsumerisme pendidikan kita. Oleh karena itu, sudah selayaknya guru kembali pada khittah guru yang sebenarnya yakni menjadi guru yang digugu lan ditiru. Tidakkah kita pikirkan, generasi apa yang akan terbentuk oleh orang-orangyang termotivasi menjadi guru hanya karena persoalan reward semata. Huallah Hualam.