Oleh Don Zakiyamani
Komisioner KPK (Komunitas Pecinta Kopi), Berdomisili di Banda Aceh
Suatu malam penulis kedatangan tamu istimewa yang baru saja melakukan kegiatan organisasinya di pulau Jawa. Banyak hal yang kami diskusikan terkait dunia pendidikan, perjalanan diskusi akhirnya menemukan terminal yang sangat semrawut bahkan menyedihkan. Perbincangan literasi di Indonesia terkhusus di Aceh adalah terminal diskusi yang penulis maksud. Bang Imran, demikian penulis menyapanya, sebagai Ketua Umum IGI (Ikatan Guru Indonesia) Propinsi Aceh yang baru, beliau banyak berkisah seputar budaya baca dan tulis di Aceh, menurutnya sangat miris dan IGI memiliki visi untuk memulai budaya itu dari para guru. Realitas itu bukan isapan jempol belaka, namun banyak lembaga riset yang memaparkan temuannya sehingga membuat mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang sekaligus dewan penasehat IGI mencanangkan gerakan literasi. Kita tak perlu memperdebatkan validasi dari temuan lembaga riset karena yang utama ialah bagaimana menjadikan budaya literasi sebagai bagian kehidupan kita.
Tesis korelasi budaya literasi dan dampaknya bagi kemajuan peradapan sebuah bangsa banyak kita baca di media, jurnal, buku, serta kita saksikan sendiri bagi yang sudah keluar negeri atau daerah. Bila kita cermati dengan seksama gejala malas baca dan tulis juga menghinggapi kaum terpelajar, tentu saja hal itu berdampak pada kemajuan bangsa setelah mereka menjadi pengambil keputusan negerinya. Terhadap budaya literasi di Aceh penulis punya kesan tersendiri terutama di kalangan intelektual muda, salah satu monster pokemon Go yang paling ditakuti mahasiswa ternyata skripsi. Selalu menjadi kebiasan tidak ilmiah sekaligus pembuktian bahwa rendahnya budaya literasi di kalangan anak muda ialah ketika mahasiswa menjalani proses penulisan karya ilmiah tersebut selalu didahului dengan mencari judul dan kemudian baru mencari literatur terkait judul skripsinya, itu pun hanya copy-paste atau ketik ulang.
Perguruan Tinggi kita memang sangat jarang memperkenalkan budaya literasi di awal semester. Kalaupun ada, kurang sekali. Sehingga kebanyakan mahasiswa di akhir semester ketika berhadapan dengan skripsi merasa dalam zona perang sesungguhnya. Jarang sekali para dosen mengarahkan dan mengajak mahasiswa mencintai buku, menuliskan hasil bacaannya hingga daya analisis terhadap fenomena. Sekolah-sekolah kita juga tidak menekankan literasi dalam proses belajar mengajar. Guru menjadi narasumber tunggal dan bila guru tak memiliki kebiasaan membaca akan berdampak pula pada anak didiknya. Hal itu terjadi karena dahulunya para guru juga mahasiswa yang masih asing dengan budaya literasi, keterkaitan satu dengan yang lainnya akan berdampak sistemik, seperti rantai makanan dalam nomenklatur biologi.
Para pengambil keputusan (stake holder) di Aceh khususnya, juga bukan kelompok yang membudayakan literasi. Jarang sekali kita temukan tulisan mereka di media yang bermutu, selain cakap kekuasaan dan itupun miskin literatur. Kita kehilangan tokoh sekaliber Soekarno atau Hatta yang ketika berbicara di forum internasional atau nasional selalu memberikan khazanah keilmuan, tulisan-tulisan yang menggugah dan membangkitkan semangat serta menjadi rujukan para ilmuwan. Para doktor di perguruan tinggi pun saat ini jarang menelurkan buku-buku berkualitas, padahal gelar akademik mereka sudah di level tertinggi. Tentu saja menjadi tanya besar mengapa karya mereka sangat sedikit. Hal itu bisa dibuktikan dengan bacaan mahasiswa yang masih menggunakan buku karya-karya para penulis luar negeri. Unsyiah misalnya, dalam catatan penulis memiliki doktor yang tersebar di semua jurusan. Kebanyakan lulusan perguruan tinggi luar negeri, namun jarang sekali kita temukan bacaan di kalangan mahasiswa buku yang ditulis dosen mereka.
Berdasarkan fakta itu bisa kita cermati bahwa budaya literasi belum menyentuh kalangan terpelajar, apalagi siswa dan awam. Padahal dengan ajaran Islam yang kita bawa sejak lahir harusnya Aceh menjadi daerah paling unggul di Indonesia. Usaha-usaha membudayakan literasi yang dilakukan IGI, Mendiknas, maupun media seperti majalah POTRET ini, hendaknya mendapat sambutan karena budaya literasi berguna bagi yang ingin membudayakannya dan selanjutnya dapat membuat kemajuan negeri. Perpustakaan sekolah dan PT harus menjadi destinasi utama bagi kaum terpelajar. Pustaka-pustaka gampong juga harus dibangun. Peraturan untuk meraih gelar Professor juga harus dibuktikan dengan buku-buku berkualitas yang ditulis calon Professor. Penulis cenderung menyarankan calon sarjana harus pula menghasilkan buku yang diterbitkan sebagai pengganti skripsi, UN bagi siswa dihapus saja dan diganti dengan resensi buku oleh siswa minimal 3-6 buku. Kenaikan pangkat dan golongan PNS juga harus dibuktikan dengan tulisan di media cetak. Tentu saja saran-saran itu terkesan utopis, namun penulis percaya bahwa kalau saja kita bisa menjumpai Soekarno dengan mesin waktu dan mengatakan ada handphone yang bisa foto dan video, tentu dia akan menertawainya, ‘gak mungkinlah’. Hal itu memang tidak mungkin di masa itu, namun menjadi mungkin dan kenyataan di saat ini.
Saat Presiden Joko Widodo mempopulerkan revolusi mental misalnya, harapan penulis adalah para calon menteri merupakan orang-orang yang sudah menulis buku, para menteri adalah orang-orang yang mencintai buku dan membudayakan literasi. Tampaknya kita tak perlu berharap banyak pada petinggi negeri, kita dapat memulainya dari diri kita, keluarga, teman-teman, serta kelompok organisasi di sekitar kita. Akses internet yang semakin luas hingga ke desa-desa memudahkan kita guna mendapatkan bacaan dan menulis, kita adalah makhluk membaca dan menulis pada dasarnya, bisa kita buktikan dengan nayaris setiap hari kita menulis di sosmed kita, mengomentari status sosmed teman hingga mencaci status sosmed atau berita yang menurut kita tak sesuai. Semakin banyak membaca semakin santun bahasa kita. Semakin terkikis kesombongan kita, semakin merasa kita bodoh karena semakin banyak hal yang ternyata tidak kita ketahui. Selanjutnya mari menulis, mengutip slogan Asma Nadia dan kawan-kawan, ‘satu buku sebelum mati’. Slogan ini menarik dan bagus kita terapkan. Penulis cenderung sepakat dengan slogan tersebut. Banyak ulama, tokoh, yang belum sempat menulis, namun sudah dipanggilNya. Entah karena sibuk atau memang enggan menulis. Padahal pikiran dan ilmu mereka sangat berguna. Budaya lisan masih mendominasi dibandingkan budaya literasi. Kita lebih memilih ngobrol dibandingkan membaca menulis. Bila ngobrol kita memiliki waktu, namun no time for reading and writing.