Oleh : Siti Maryamah
Anggota IIDN Interaktif, berdomisili di Banjarnegara.
Setengah tahun terakhir, media massa gegap gempita dengan berita para perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. Meski perempuan terlibat korupsi bukanlah hal baru, tapi sejumlah nama perempuan dalam waktu yang bersamaan terlibat korupsi besar-besaran adalah fenomena baru.
Parade Perempuan Korupsi
Gempita berita korupsi oleh perempuan, diawali dari tertangkapnya Nunun Nurbaeti, pada Desember 2011 di Bangkok, Thailand. Tersangka kasus suap senilai 24 Milyar terhadap anggota DPR periode 1999-2004 saat pemilihan DGS BI Miranda S Gultom tahun 2004 ini buron sejak Februari 2011. Kasus Nunun ini kontroversial mengingat statusnya sebagai istri dari mantan Wakapolri, Komjen (Purn) Adang Dorojatun, yang mestinya berlaku sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi, serta status Adang sebagai mantan cagub DKI pada pilgub 2007 yang didukung oleh PKS, sebuah partai yang mencitrakan diri bersih dan peduli.
Menyusul kemudian Mindo Rosalina Manullang, mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri yang terlibat kasus suap Wisma Atlet di Palembang. Kasus ini menyeret nama Angelina Sondakh, anggota DPR dari Partai Demokrat yang mulai 27 April 2012 resmi mendekam di sel tahanan KPK. Angie juga diduga terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan bagi perguruan tinggi di lingkungan Kemendikbud senilai 600 Milyar. Ada pula nama Inong Malinda Dee yang membobol dana nasabah Citibank dalam 64 transaksi senilai 27,3 Milyar dan 53 transaksi senilai 2 juta dollar AS. Inong yang di dunia maya banyak beredar foto syur-nya, tiba-tiba mengubah penampilan menjadi berkerudung setelah menjadi terdakwa. Soal berkerudung mendadak ini juga terjadi pada Nunun Nurbaeti dan Neneng Sri Wahyuni.
Tak kalah heboh kasus Wa Ode Nurhayati, anggota Banggar DPR dari partai PAN, yang berhasil “menabung” 50,5 Milyar rupiah dari berbagai proyek yang negosiasinya melewati Banggar. Perempuan berkerudung ini saat ini tengah menjalani sidang di pengadilan tipikor Jakarta. Kemudian Miranda S Gultom, sang mantan DGS BI yang ditetapkan menjadi tersangka sejak 26 Januari 2012 setelah penyelidikan sekian lama menemukan bukti kuat bahwa dia terlibat dalam kasus suap pemilihan dirinya sebagai DGS BI pada tahun 2004. Ada pula Dharnawati, yang terlibat dalam kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) bidang transportasi di Kemenakertrans, dan telah divonis 2,5 tahun.
Di daerah, ada Titik Kirnaningsih, istri walikota Salatiga, Jawa Tengah yang terlibat dalam korupsi JLS Salatiga senilai 12,2 Milyar. Lalu Imas Dianasari, hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung yang terbukti menerima suap dari perusahaan yang tengah bersengketa dengan serikat pekerjanya.
Tertangkapnya Neneng Sri Wahyuni pada Rabu, 13/6/2012,menambah panjang daftar peserta parade ini. Tersangka kasus korupsi PLTS di Kemenakertrans ini telah buron selama 336 hari, dan menjelajah 192 negara dalam pelariannya. Licin luar biasa. Istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazarudin ini didakwa menjadi makelar oper kontrak proyek PLTS yang merugikan negara sebesar 3.8 Milyar rupiah.
Bias Gender
Banyaknya kasus korupsi oleh kaum perempuan anggota legislatif menumbangkan premis bahwa peningkatan keterwakilan perempuan dalam legislatif akan menurunkan tingkat korupsi. Premis ini didasarkan pada keyakinan bahwa secara “natural”, perempuan memiliki sifat lebih hati-hati, takut resiko, tidak ambisius, kurang agresif dan kompetitif. Semua sifat itu kurang kondusif bagi dilakukannya korupsi. Parade korupsi oleh kaum perempuan membuktikan bahwa asumsi tadi bias gender. Perempuan juga semakin terbukti berani ambil resiko, tak kalah agresif, ambisius dan kompetitif dibanding laki-laki.
Menurut Danang Widoyoko dari ICW (Indonesian Corruption Watch) dalam dialog mengenai perempuan dan korupsi yang diadakan oleh Junal Perempuan Februari 2012, korupsi yang rendah di negara-negara dengan tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi, seperti yang terjadi di negara-negara Skandinavia, tidak berkait dengan gender, tetapi lebih kepada kultur masyarakat yang telah bisa membedakan mana publik dan mana privat, parpol yang sangat kompetitif dan akuntabel, serta pengawasan yang melekat kuat oleh masyarakat dan media massa.
Selain itu, ada semacam “common sense” dalam benak masyarakat kita, bahwa patut diduga di balik sosok laki-laki koruptor, ada seorang istri yang serakah atau penuntut. Anehnya, persangkaan yang sama bahwa di belakang perempuan koruptor ada sosok suami yang tamak, jarang atau bahkan tidak mengemuka. Inilah salah satu potret konstruksi bias gender yang nampak dalam fenomena korupsi besar-besaran oleh para perempuan. Gaya hidup ala jetset para perempuan koruptorlah yang disorot dan dituduh menjadi salah satu biang keladi terjadinya korupsi. Padahal sifat matrealistis yang dikonstruksikan milik kaum perempuan mestinya terbantahkan dengan fakta bahwa korupsi oleh kaum laki-laki jauh lebih banyak.
Spontanitas ungkapan “Perempuan-perempuan kok korupsi!” juga merupakan potret bias gender. Ungkapan itu menunjukkan bahwa jenis kelamin yang lain ( laki-laki) dianggap lebih pantas melakukan korupsi dan karenanya lebih dimaklumi. Perempuan, karena dianggap sebagai pihak yang diberi nafkah, dan serangkaian sifat yang secara “natural” dilekatkan padanya membuat sosok perempuan dinilai tidak pantas melakukan korupsi. Padahal, korupsi adalah perbuatan yang tidak pantas bagi laki-laki maupun perempuan.Fenomena parade korupsi oleh kaum perempuan menunjukkan bahwa korupsi bukanlah persoalan jenis kelamin. Korupsi adalah soal bertemunya lemah iman, dengan niat dan kesempatan. ***