Jam menunjukkan pukul 10.00 Wib. Pertanda waktu istirahat di SD Deudap, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Hari itu 28 September 2016. Di samping ruang guru, terpal biru ukuran lima kali tiga meter terbentang. Ada 96 buku cerita anak-anak yang disusun berjejer di atasnya. Murid kelas 3 yang memiliki jadwal olahraga pagi itu pun lebih awal menyudahi permainan sepak bolanya. Hamparan buku yang digelar sejam sebelum istirahat tiba ternyata cukup menggoda.
“Ayo, yang mau baca buku silahkan pilih bukunya, tapi habiskan dulu jajan kalian. Supaya bukunya tidak kotor dan basah,” ujar Hayati kepada murid yang baru bergabung dari arah kantin sekolah.
Hayati menjabat sebagai kepala sekolah SD Deudap. Dia sudah berdinas di Pulo Nasi sejak 2012. Masa kerjanya tinggal dua tahun lagi. Baginya, dapat menyabet gelar pensiun dari wilayah yang masuk katagori terpencil Aceh sangat membanggakan.
Cara Hayati mengajak murid-muridnya membaca yang difasilitasi Pustaka Ransel pagi itu, sederhana sekali. Ia hanya ikut serta memilih salah satu buku dan membaca bersama di terpal itu. Alhasil, melihat teladannya, banyak murid yang bergabung. Sebagian murid hanya melihat-lihat gambar di buku, sebagian lainnya membaca dengan serius.
Pustaka Ransel sebuah komunitas yang bergerak dibidang pendidikan dengan cara mengunjungi sekolah atau desa guna menarik minat baca anak-anak di daerah terpencil Aceh. Biasanya para relawan Pustaka ransel membawa beberapa buku cerita anak-anak dan menggelarnya di atas terpal atau spanduk bekas.
Usai membaca buku cerita, seorang murid laki-laki kelas 5 bernama Nanda bertanya pada relawan Pustaka Ransel, apakah Pustaka Ransel memiliki koleksi buku puisi. “Kami ndak punya buku puisi dek,” jelas relawan bernama Andra.
Nanda tampak menunduk. Tapi kemudian Andra balik bertanya ke Nanda, “Puisi apa yang Nanda tahu?”
“Pengemis Tua bang,” jawab Nanda sambil tersenyum.
“Dari mana Nanda tahu puisi itu?” tanyanya lagi.
“Dari buku Bahasa Indonesia bang,” jelas Nanda.
“Bersedia Nanda bacakan? Abang mau dengar puisinya,” tantang Andra.
Merasa tertantang, si bocah yang punya hobi berenang itu pun menjawab, “Bisa bang.”
Saat itu mereka sedang duduk di atas ‘gazebo’ beratapkan Mimusops Elengi atau pohon Tanjung. Aroma bunganya seolah serta merta menyemangati Nanda. Tak hanya itu, beberapa teman seangkatannya dan seorang guru juga tidak sabar menyaksikan si penyair melantunkan puisi.
“Pengemis Tua
Pakaiannya Compang Camping
Badannya kurus kering
Wajahnya pucat pasi”
“Setiap hari menyusuri jalan penuh debu
Tidak ada yang peduli”
“Oh, pengemis tua
Sungguh malang nasibmu
Pengemis tua kau tetap tabah
Menjalani hidup yang penuh duka nestapa”
Si penyair berpuisi dengan lancar. Sesekali ia menaikan intonasi suaranya. Beberapa baris puisi Pengemis Tua, juga tak lepas dari cengengesannya. Namun, riuh tepuk tangan penonton mewarnai pertunjukan singkat sang penyair muda.
Bagi anak usia 10 tahun dan tinggal di daerah terpencil, kemampuan dan keberanian Nanda berpuisi di depan orang dewasa patut diapresiasi. Puisi sederhana. Terdiri dari tiga bait, tetapi mampu menginspirasi seorang anak Pulo Nasi untuk bisa menghafalnya. Kecuali satu hal. Dia melupakan nama pengarangnya.