Ke Pulau Kemaro pak? Biar kita antar ke sana. Murah saja kok. Begitu ungkap seorang pemilik getek yang sedang mencari penumpang di dermaga sungai Musi, dekat Pasar 16 Palembang. Tepatnya, di bagian bawah jembatan Ampera yang cukup panjang itu. Hmm, Kemaro? Tanya saya. Ya pak. Lalu, saya hanya diam dan mendengarkan apa kata beliau.
Tak lama kemudian, datang lagi yang lain dan menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke pulau Kemaro, ketika kami sedang asyik menonton pagelaran music yang digelar oleh para pengamen yang konon adalah anak-anak jalanan kota empek-empek ini. Para pengamen ini tampak sangat kocak dan mereka melantunkan lagu-lagu yang menghentak gerak kaki dan tangan para penonton di depan sejumlah kios yang menjajakan makanan dan minuman itu. Penjelasan lelaki yang menawarkan jasa pengantaran ke pulau Kemaro pun jadi terabaikan. Ya, karena hentakan music yang membuat hati ikut bergoyang itu.
Pokoknya, ajakan kedua pemilik getek dan speed boat itu tidak begitu kami gubris. Namun ada lagi yang bertanya, mau ke Kemaro Pak? Kami masih menggelengkan kepala, sambil bertanya, ada apa di pulau itu? Berapa lama jarak tempuh ke pulau itu dan apa sih yang menarik di pulau itu?
Mereka pun menjelaskan sedikit tentang legenda pulau tersebut. Kami hanya bisa menyimak sejenak. Mereka berhasil menghipnotis keinginan kami. Ya, penjelasaan itu rupanya menggerakan rasa ingin tahu kami, serta memberikan keberanian kami untuk mengarungi sungai Musi, menuju pulau Kemaro. Kami kemudian punya keinginan dan niat untuk menuju ke pulau yang masih misteri dalam benak kami.
Namun, kami tidak langsung menuju ke pulau Kemaro pada siang itu, karena kami memutuskan harus kembali Jaka baring, tempat kami menginap dan ikut acara. Di perjalanan pulang menuju tempat penginapan, kami saling bertanya, kapan dan siapa saja nanti yang akan ke sana. Esok harinya, kami menemukan ada waktu luang setengah hari yang bisa kami manfaatkan. Kami pun sekitar 6 orang meninggalkan tempat penginapan menuju kota Palembang dengan menumpang sebuah minibus. Waktu sudah hamper pukul 12.00 siang. Perut sudah mulai terasa seperti ada yang bernyanyi. Maka, sebelum berangkat, mencari atau memilih rumah makan atau warung yang ada di bibir sungai itu. Kami merasa tertarik untuk makan di warung apung, ya warung yang menggunakan perahu dan ditambat di pinggri sungai. Bentuknya memang bentuk rumah.
Hmm, makan siang pun terasa nikmat. Kami menikmati sajian makan siang dengan memesan pindang ikan. Katanya pindang itu jadi masakan khas juga di kota Palembang. Mata kami sekali-kali melihat aktivitas banyak orang yang ada di bawah jembatan Ampera itu. Sambil menikmati makanan, kami merasakan goyangan warung makan karena ombak sungai Musi. Sungai berombak-ombak, karena banyak perahu dan kapal yang lalu lalang.
Makan siang pun usai. Perut sudah terasa kenyang. Tak lama kemudian, pemilik warung pun bertanya, tidak ke pulau Kemaro? Pertanyaan ini kembali menjadi trigger bagi kami. Lalu, sambal bercanda, ah ngapain kita ke sana. Ongkos ke sana juga mahal. Perempuan pemilik warung mengatakan, tidak mahal kok. Bisa ditawar. Paling-paling Rp 200.000 untuk ongkos pulang pergi.
Ternyata untuk 6 orang ya tentu tidak mahal. Apalagi untuk perjalanan pergi dan balik. Kami akhirnya dipertemukan dengan pemilik boat. Wow, betapa kagetnya aku ketika melihat boat yang ditawarkan. Bukan speed boat yang lajunya kencang dan cepat itu. Ternyata sebuah getek, ya katakanlah biduk atau sampan dengan mesin tempel. Aku merasa sangat kecut, karena untuk mengarungi sungai Musi dengan getek yang tidak ada pelampung atau pengaman lain. Namun, karena semua sudah naik, akupun memberanikan diri untuk naik ke getek tersebut. Aku merasa getek tersebut oleng-oleng. Ya, aku sangat khawatir. Yang terbayang di pikiran adalah bagaiman kalau geteknya terbalik di tengah atau di pinggir sungai Musi yang keruh dan luas tersebut. Aku membayangkan mati. Ha ha ha.
Getek melaju dengan perlahan dan mengambil jalur yang tidak begitu jauh dengan bibir tebing sungai. Namun di sepanjang sungai tersebut banyak bersandar boat dan kapal-kapal besar. Aku melihat ada kapal Gurita III. Kapal itu mengingatkan aku pada kapal penyebarangan dari Ule Lhe ke Balohan yang tenggelam di tahun 2000 yang lalu. Sambil bercanda, aku katakana, wah ternyata kapal Gurita yang tenggelam di perarian Sabang itu bersandar di sungai Musi. Bukan hanya Gurita, tetapi juga ada kapal Bahari Express.
Perjalanan menuju pulau Kemaro sekitar 20-25 menit. Kecuali kalau dengan speed boat, bisa lebih cepat. Setelah menelusuri bibir sungai dan melewati celah-celah kapal yang ada di sungai Musi, sesekali getek yang kami tumpangi diguncang ombak dari speed boat yang lewat. Sang kemudi getek dengan sigap mengantisipasi hempasan gelombang ombak dari buritan. Rasa cemas dan takut semakin menjadi-jadi. Dari kejauhan kami sudah melihat pulau Kemaro.
Getek yang kami tumpang semkin mendekat dermaga yang hanya berupa dinding tembok dan getek menyandarkan diri di tembok, lalu kami melompat ke daratan, sambal berucap, Alhamdulilah. Kami pun melangkah ke dalam kompleks dan melihat tidak banyak bangunan yang ada di kompleks tersebut. Ya hanya ada rumah tempat tinggal penjaga pulau, ada satu klenteng dan juga sebuah bangunan tinggi Cina. Aku dan kawan-kawan, menuju sebuah prasasti yang bertuliskan Legenda Pulau Kemaro. Aku membaca tulisan yang ada di prasasti itu sebagai berikut:
Ada legenda seorang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting oleh saudagar Tionghoa yang bernama Tan Bun An pada zaman kerajaan Palembang. Siti Fatimah diajak ke daratan Tiongkok untuk melihat orang tua Tan Bun An. Setelah di sana, beberapa waktu Tan Bun An beserta istri pamit pulang ke Palembang dan dihadiahi 7 buah guci. Sesampai si perairan Musi, dekat pulau Kemaro, Tan Bun An mau melihat hadiah yang diberikan. Begitu dibuka, Tan Bun An kaget sekali. Isinya sawi-sawi asin. Tanpa banyak berfikir, langsung dibuangnya ke sungai. Tetapi guci yang terakhir terjatuh dan pecah di atas dek perahu layar. Ternyata ada hadiah yang tersimpan di dalamnya.Tan Bun An pun tidak banyak berfikir ia langsung melompat ke sungai untuk mencari guci-guci tadi. Seorang pengawal juga terjun untuk membantu melihat dua orang tersebut tidak muncul. Siti Fatimah pun ikut lompat untuk menolong. Ternyata, ketiga-tiganya tidak muncul lagi. Penduduk sekitar pulau sering mendatangi pulau Kemaro untuk mengenang 3 orang tersebut. Tempat tersebut kemudian dianggap sebagai tempat yang keramat.
Rasa penasaran pun terobati. Namun tidak seperti yang ada dalam bayangan di kepala sejak sebelum pergi. Tempat itu lengang dan hanya ada beberap orang yang berjualan dan tukang photo yang menawarkan jasa pengambilan photo. Kami hanya mengembil beberapa photo lalu kemudian memutuskan untuk kembali ke Ampera.
Perjalanan pulang dari pulau Kemaro, terasa semakin deg-degan. Betapa tidak, ketika berbalik, getek yang mesinnya satu itu dengan penumpang hingga 7 orang, terasa sulit untuk mudik. Beberapa kali getek yang kami tumpangi terombang-ambing dihantam ombak dari kapal cepat atau speed boat yang berlawanan arah. Hmm, ini benar-benar sport jantung, kata ku kepada teman-teman. Rasa takut akan tenggelam selalu ada di benak. Akhirnya, kami meminta pemilik getek untuk tidak menyebang ke tempat awal kami berangkat, tetapi memilih menepi di kepala jembatan di sebarang sungai Musi menuju Jakabaring. Hati terasa lega kembali setelah melompat ke daratan. Aku dan teman-teman, tampaknya salah mengejar pesona Kemaro, namun gelisah mengarungi sungai Musi. Legenda pulau Kemaro pun menjadi sebuah ganjalan dalam pikiran, ya jangan-jangan ini bukan sebuah tempat yang benar-benar bersejarah, tetapi mungkin hanya sekedar upaya untuk membuat pulau ini menjadi sebuah tempat wisata. Hmmm,, entahlah.