ilustrasi /mitrawacana.or.id |
Oleh Evi Susanti
Berdomisili di Kuta Malaka, Samahani, Aceh Besar.
Berbicara mengenai emansipasi, maka tak terlepas dari sosok Raden Ajeng Kartini. Seorang sosok pejuang perempuan yang gigih untuk memperjuangkan kaumnya, yaitu kaum perempuan yang ketika zaman beliau dulu perempuan selalu dipandang sebagai kaum lemah yang memiliki status sosial yang rendah. Perempuan hanya sebatas tinggal di rumah, mengurus urusan rumah tangga, tetapi berkat beliau kaum perempuan bisa menunjukkan bahwa mereka juga adalah kaum yang berhak mendapat pendidikan dan dapat diperhitungkan.
Sekarang menjelang tanggal 21 April kita merayakan hari Kartini. Seluruh stasiun televisi masing-masing menampilkan aneka kegiatan di hari tersebut. Ada yang mengadakan peragaan busana dengan menampilkan kebaya zamannya Kartini, lomba menulis dan beberapa kantor pun ada yang menerapkan “wajib kebaya” kepada seluruh karyawan perempuannya tepat pada hari itu.
Mengapa harus ada hari Kartini? Melihat jauh ke belakang kepopuleran Kartini berawal dari kumpulan surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda. Ia mencurahkan isi hatinya kepada Rosa Abendanon tentang dirinya yang hanya bersekolah sampai umur 12 tahun. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, di rumah saja sambil menunggu untuk dinikahkan dan harus bersedia dimadu. Kegiatan sehari-harinya hanya duduk di taman rumahnya sambil membaca buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya. Dari situlah awal ia belajar bahasa Belanda dan sering menanyakan kepada bapaknya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat jika ada hal-hal yang tidak dimengertinya.
Tiada hari tanpa membaca. Dari kegemarannya dalam membaca itu semakin bertambah pula ilmu pengetahuan yang didapatnya setiap hari. Melalui buku itulah Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Terbersit keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Dia mulai mengumpulkan teman-temannya untuk diajarkan membaca dan menulis di halaman rumahnya.
Keinginannya untuk belajar begitu kuat, Kartini pun sempat meminta beasiswa ke J.H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda untuk melanjutkan studi ke Eropa, tetapi keinginannya sirna seketika dan beralih ke Betawi sesuai dengan izin sang bapak. Pada saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan adiknya Rukmini untuk belajar menjadi guru di Betawi. Kartini yang pada saat itu berumur 24 tahun itu pun tidak berniat lagi untuk melanjutkan sekolah. Hal ini terungkap dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon.
“…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…”
Kartini pun akhirnya menjadi istri keempat Raden Adipati Joyodiningrat, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Suaminya tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara, tetapi juga mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam pendidikan terhadap kaum perempuan, yaitu dengan mendirikan sekolah perempuan di Kabupaten Rembang. Kartini menulis mengenai suaminya, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagaimana saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 187].
Setelah empat hari melahirkan putranya yang pertama, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya. Mr.J.H Abendanon.mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht yang artinya Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang kemudian pada tahun 1922 dicetak ulang oleh Balai Pustaka dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Suatu malam tiba-tiba aku teringat pidato seorang Bapak pada saat malam Anugerah Cut Nyak Dhien yang diadakan sebuah organisasi perempuan akhir tahun 2014 lalu. Beliau mengingatkan kembali mengenai perjuangan Cut Nyak Dhien melawan penjajah Belanda dengan berbagai strategi perangnya. Dia pantang menyerah walaupun suaminya telah mendahuluinya-meninggal di tangan para penjajah Belanda. Pidatonya berapi-api, tersurat bagaimana gigihnya seorang panglima perang perempuan mengobarkan semangat juangnya untuk menumpas penjajah dari muka bumi ini. Akhir pidatonya dia akan mengusulkan kepada pemerintah untuk nantinya membuat Hari Cut Nyak Dhien.
Penulis bukan bermaksud meremehkan peran seorang ibu kita Kartini yang telah berjasa memajukan kaum perempuan yang dahulu berpendidikan rendah kini menuju masa perempuan yang lebih maju, berpendidikan tinggi, otonom dan adanya persamaan dalam hukum. Banyak juga perempuan yang hidup sezamannya juga berpikiran maju. Seperti Cut Nyak Dhien, pejuang perempuan dari Aceh yang tangguh dan gagah berani ini memimpin pasukan perang melawan Belanda. Bahkan di tempat pengasingannya dengan kondisi yang sakit tua, kondisi fisik yang mulai lemah beliau tetap pada pendiriannya untuk tidak akan menyerah kepada penjajah Belanda.
Kemudian ada Dewi Sartika, perempuan asal Bandung yang lahir tahun 1884 ini bercita-cita juga memajukan pendidikan untuk kaum perempuan dan mendirikan Sekolah Kautamaan Istri pada tahun 1910.Telah membuka cabang yang tersebar di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.
Sederetan nama-nama perempuan muda yang terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan kaum penjajah misalnya Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Christina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, Roro Gusik bersama Surapati dan masih banyak nama-nama lain yang tidak di publikasikan.
Kembali aku terngiang-ngiang kembali ucapan bapak yang berapi-api tadi, “Mengapa tidak ada hari Cut Nyak Dhien?”, tutur beliau pada saat malam mengenang wafatnya Cut Nyak Dhien yang ke 106 lalu. Benar saja, jika kita berpikir lebih jernih kita pasti akan bertanya-tanya juga “Mengapa bukan hari Dewi Sartika?”, “Mengapa bukan Cut Meutia?” dan sederet nama-nama pejuang lain.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan tanggal 21 April yang merupakan tanggal kelahiran Kartini untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Dari situ pro dan kontra pun bermunculan, pengkultusan Kartini sebagai pahlawan nasional menimbulkan banyak pertanyaan yang sampai kini belum terjawab.